Wednesday, July 24, 2013

Mengeluh Itu Perlu!

Pada dasarnya, life is all about balance. Segala sesuatu di hidup ini itu penting adanya, asalkan seimbang. Jadi, momen penuh kedukaan itu tidak selalu berarti negatif, karena ada kalanya momen duka itu mengingatkan kita bahwa hidup tidak selalu diwarnai kebahagiaan sehingga membuat kita lebih bijaksana menjalani kehidupan.

Seringkali, manusia tidak menyadari "kebutuhan" itu, sehingga sebagian besar cenderung anti pada momen tidak menyenangkan, anti pada kesulitan, anti pada kesengsaraan, dan sebagainya. Saya mungkin di banyak kesempatan juga berbuat yang sama, tetapi hari ini saya disadarkan untuk menerima semua proses sebagai bagian dari dinamika hidup yang seutuhnya. 

Seorang sahabat yang sudah lama tidak saya jumpai bercerita tentang apa yang dialaminya. Secara singkat, dia memadatkan ceritanya dengan kalimat, "Sebenernya sih pengen ngeluh, tapi ya dijalanin aja.." Kalimat yang sering kita dengar dan cerna, bahkan terlontar dari mulut kita. 

Saya kemudian merespon dengan mengatakan bahwa mengeluh itu perlu dalam porsinya, dan mengeluh tidak selalu buruk. Herannya, saya baru menyadari fakta itu ketika saya mengucapkannya sendiri kepada orang lain. Padahal, selama ini saya ada di dalam tempurung yang percaya bahwa mengeluh itu tidak pernah baik, hasil dari sosialisasi dan interaksi saya dengan orang-orang di sekeliling saya. 

Banyak orang yang mengkritik saya karena tidak mudah puas dengan apa yang saya miliki. Tak jarang saya butuh afirmasi yang berlebihan, atau berakhir dengan meracau tentang apa yang tidak saya miliki atau tidak saya lakukan. Mengeluh menjadi label kata kerja yang melekat dalam diri saya, dan orang lain tidak menyukainya. Dari situ, timbul pagar-pagar yang berkawatkan tulisan "Jangan suka mengeluh! Orang lain tidak menyukainya!" yang kemudian membuat saya menahan diri untuk mengeluh. 

Padahal, ketika saya dalami lebih jauh, sesungguhnya mengeluh itu perlu, bahkan amat perlu. Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa hidup pada dasarnya melulu mengenai keseimbangan, mengeluh adalah bagian dari ekuilibrium itu. Mengeluh diperlukan untuk membantu manusia mencapai keseimbangan itu. Bagaimana caranya?

Pertama, mengeluh membuat kita sehat secara rohaniah. For me, it is a mechanism that keeps me sane. Meskipun derajatnya berbeda bagi masing-masing orang, tetapi dengan mengeluh, sesungguhnya kita berusaha melepaskan emosi dan energi negatif yang kita simpan. Dari namanya saja, energi negatif akan dapat merusak batin kita, membuat kita tidak bahagia, atau merasa dongkol atau kesal. Dalam kondisi itu, mengeluh bisa menjadi saluran bagi energi negatif itu untuk keluar. Dengan keluarnya energi negatif itu, maka batin kita menjadi lebih sehat, apalagi jika kemudian diisi dengan energi baru yang lebih positif. 

Energi baru yang lebih positif sendiri bisa didapatkan melalui mengeluh, khususnya ketika kita bercerita pada orang-orang yang tepat, yang menjadikan keluhan itu sebagai masukan untuk memberikan saran dan kritik yang sifatnya konstruktif. Walaupun kadang sulit menemukan orang dengan kapasitas tertentu semacam itu, setidaknya dengan berbagi kepada orang lain, kita bisa menemukan pandangan orang yang berbeda, perspektif lain untuk melihat masalah, yang kadang dapat menjadikan kita melihat masalah dengan lebih utuh, atau setidaknya mendapatkan kacamata baru yang menyegarkan dalam memandang problematika yang ada. 

Hal yang juga tidak kalah penting dari aktivitas "mengeluh" ini adalah bahwa terkadang, dengan mengeluhkan sebuah masalah kepada orang lain, ada orang-orang yang bisa membantu mencarikan jalan keluar dari sebuah masalah. Bandingkan ketika kita memilih untuk tidak mengeluhkan masalah itu dan menyimpannya untuk diri sendiri, maka tidak akan ada orang yang tahu, apalagi membantu menyelesaikan kebuntuan yang kita rasakan. 

Memang, untuk bisa menghasilkan kritik yang konstruktif, solusi, ataupun perspektif baru, kita harus mencari orang yang tepat, yang dewasa dalam menyikapi keluhan orang di sekitarnya. Orang tersebut mungkin sulit ditemukan, tetapi hampir pasti orang semacam itu ada di bumi.

Kita juga perlu merefleksi diri, apakah kita cenderung menjadi orang yang judgmental dalam melihat masalah, menghindari keabu-abuan, dan mengkotak-kotakkan kegiatan "mengeluh" sebagai salah satu aktivitas yang justru destruktif sehingga perlu dihindari. Dari situ kita bisa belajar untuk menjadi orang yang berpikiran terbuka, khususnya tidak menutup mata terhadap keluhan orang lain. Kita perlu mengingat bahwa mengeluh diperlukan sebagai salah satu mekanisme diri mengeluarkan energi dan emosi negatif yang sebenarnya berbahaya jika disimpan sendirian.

Ketiga, mengeluh bisa menjadi satu latihan bagi diri sendiri untuk berefleksi. Mungkin hal ini kedengaran aneh, tetapi sesungguhnya dengan menganalisa keluhan-keluhan kita, kita tahu apa yang menjadi momok bagi diri kita, apa yang tidak kita sukai, dan bagaimana kita menghadapinya. Dari situ, kita bisa mencatat dan mempelajari diri kita sendiri, dan menghindari hal-hal yang salah untuk tidak diulangi kembali karena berpotensi menyebabkan keluhan yang sama. Kalau kita cukup bijaksana, keluhan itu membuat kita lebih toleran terhadap orang lain, dan berusaha membangun diri untuk tidak bergesekan dengan orang lain.Tentu, proses ini tidak dapat ditempuh dalam satu, dua malam, melainkan sebagai sebuah tahapan panjang yang harus dialami seumur hidup untuk dapat mencapai "kesempurnaan". Tetapi, setiap proses panjang membutuhkan langkah pertama, bukan?

Pesan saya, mengeluh lah kepada orang yang tepat, yang tidak mudah menghakimi. Atau bahkan mengeluh bisa dilakukan dengan menulis, atau disalurkan lewat banyak hal. Yang terpenting adalah bagaimana kita memutuskan untuk melepaskan segala tekanan yang kita tanggung untuk mendapatkan kelegaan.

Kembali kepada persoalan ekuilibrium tadi, tentunya sesuatu dapat disebut seimbang jika porsinya tidak berlebihan, tetapi juga tidak berkekurangan. Untuk itu, perlu ada batasan terhadap keluhan yang kita sampaikan. Jangan sampai orang merasa jengah dengan keluhan karena jumlahnya yang tidak karuan. Di situlah kontrol diri diperlukan untuk juga dapat melatih diri sendiri agar bisa menyeimbangkan waktu untuk mengeluh dan waktu untuk menahan diri. Ini adalah tantangan yang saya sendiri pun belum berhasil untuk melakukannya. 

Tulisan ini bukanlah excuse, atau sekadar bahan saya membela diri terhadap kebiasaan saya mengeluh, tetapi saya berupaya untuk melihat sesuatu dari kotak yang lebih besar, dari perspektif yang lebih luas, dan ini sesungguhnya adalah salah satu exercise saya untuk menjadi lebih dewasa dan terbuka terhadap hal-hal yang terjadi di hidup saya.

Menyerap semua hal, aware dan mindful terhadap setiap titik yang saya lewati adalah pilihan dari hidup saya. Saya bisa mengutuki diri karena terlalu kritis dan analitis terhadap diri sendiri, tetapi saya sadar bahwa perbuatan itu tidak membawa saya kemanapun juga. Jadi, dengan berusaha memahami diri dan menjadikan segala sesuatunya sebagai manfaat, saya sedang berupaya menjadikan hidup saya lebih berarti.

Tuesday, July 23, 2013

Weirdo

Another fact I just found about myself: I am always in a rush. I take conclusions simplistically. The most recent and relevant example would be how I suddenly decided to plan out my future when I was just working for about one week at my new office. I took assumption on the work challenge, dynamics, and environment, then I took guesses on how they're going to be for the year ahead, and now, I am busy planning out what am I supposed to do with all of the remaining times I do not spend at work.

Well, this is what happened when you are too critical on yourself. Ambitious? Not really. It's just you are too conscious and worrisome of what should be happening and what shouldn't. Am not trying to defend myself, though. I am just trying to see it clearly, looking for the root cause of every thing. 

Ah, why do I argue with myself. Weird.

A Shout

Thousands of thousands of wedding videos I have watched never successfully prevented me from tearing apart. Been wondering how my wedding day is going to be, and am still wishing it to be perfect. Gosh, it's really painful. I have always imagined a wedding day of my own, a day I would cherish forever, a day that I finally start my new life with somebody I truly desire, a day where I would care for nothing else but the love that we share. 

Am just being a kid. Unrealistic one. I have always thought that love will be so powerful it will prevail. All I ever want was to have someone that will support and love me unconditionally, someone that won't underestimate me for what I am doing. Instead, I need someone to back me up in the worst moment of my life. It is just hurtful to know that a person you love wholeheartedly is not that someone.

I could list down all of his weaknesses and feel satisfied now that we are not together, but that's not how I feel happy. That is simply not what I want. What I want is for him to be someone I am dreaming of, I could take his downsides, I could accept his values and characters, but I just want to be accepted for who I am, what I do, how I behave. 

I don't need excuses, I just want commitment. Was it really that hard to you?

Monday, July 22, 2013

Outta Here

Since I just lost my diary book, I couldn't find other places to share my insecurities, fear, or just random or general stuffs. I feel sorry for myself, but mostly for my blogs, for I will be busy posting transitions of my life, as a side effect of losing someone that used to be huge part of your life agenda. 

What woke me up tonight is no big deal, just another tendencies of me owning too much works (worst they are instilled even in the deepest part of my unconscious). What kept me awake is unknown, though. Every thing I do basically worries me much. Despite the fact that I know I shouldn't feel so, I couldn't help but think of them, which caused me trouble sleeping.

Oh, why do I keep on sharing trashes? I got to get some other lives!!! Please. Please. Bring me outta here!!!



Hard

It might be so cliche, but I have been crying every time I am alone. Perhaps not because we are not together, but because we loved each other deeply and cared much about one another, but we simply can't fight our egos. It really hurts. 

If he hadn't been that rude. 

What is love anyway? Why can't love conquer all? Why does it hurt me badly? 

Of all the things I have done, why being so hard on me?

AADSAJFHERBOVCSFGK

Linier. Mungkin kata itu tidak pernah ada di dalam kamusku. Bergejolak. Itu lebih tepat mendeskripsikan dinamika hidupku yang penuh drama. Aneh, memang. Mau tidak mau, aku harus mengakui bahwa di dalam pembuluh darahku mengalir sebuah teka-teki, yang menginginkan keterombang-ambingan itu. Aku tidak tahu apakah itu karena bawaan OCD (obssesive-compulsive disorder)-ku, atau karena I am simply a drama-queen, tapi sekarang semuanya benar-benar memuncak menghancurkan aku. 

Sulit rasanya menterjemahkan semua komplikasi dan kerumitan di kepala ke dalam kata-kata yang dapat dicerna. Rasanya, aku ingin menumpahkan semua di meja dan berharap akan ada seseorang yang datang menyusunnya. Mudah dimengerti kalau aku memang lebih mudah berceloteh dibandingkan menuliskan perasaan, karena nyatanya aku sendiri kesulitan memetakan persoalan di kepalaku.

Bahkan kalimat-kalimat di atas hanyalah sampah yang kurapikan untuk dapat merunutkan apa yang sebenarnya ingin aku ucap di sini. Jelas sudah ketidakmampuanku mengurai masalah. 

***

Aku selalu merasa hidupku hancur. Terlepas dari semua kesempatan dan keistimewaan yang aku miliki sebagai seorang Gadis, aku merasa hancur. Banyak orang memuji dan merasa takjub dengan hidup yang kumiliki. Tidak ada kesulitan tertentu dalam bidang akademis, aku punya keluarga yang lengkap, dengan keadaan finansial yang berkecukupan, manajemen waktu yang baik, dan kesempatan yang begitu melimpah untuk berbuat banyak hal di tempat aku tinggal. 

Yang membuatku sulit sesungguhnya adalah kerasnya kepalaku, dan kuatnya niatku untuk menjadikan segalanya sempurna. Aku gila kontrol. Sebagian orang menyebutnya, control freak. Aku ingin mengatur segala sesuatunya, aku butuh kepastian, dan aku ingin segala sesuatunya sempurna. Alhasil, di sinilah aku sekarang. 

Aku marah dengan dunia, yang dibentuk oleh banyak sistem yang tidak adil. Dunia yang begitu menghakimi, dan semuanya dinilai dengan hitam atau putih. Aku tidak suka pandangan bahwa kita harus hormat kepada orang yang lebih tua, karena buatku, meminjam kata-kata seorang teman, respek adalah sesuatu yang universal. Respek tidak memandang bulu. Tidak ras, tidak umur, tidak suku, ataupun jabatan, kelas, apapun itu. Kita, manusia, pada dasarnya harus hidup dengan saling menghormati. Itu saja. Siapapun itu, berhak mendapatkan respek dari siapapun. 

Alasan itu yang membuatku secara acak:
1. Membenci birokrasi yang korup.
2. Keluar dari rumah orang tuaku. 

Hmmm, tidak jelas apakah sebenarnya semua itu berhubungan atau tidak. Tapi, well, birokrasi yang korup memperlihatkan sistem yang begitu bertele-tele tapi di belakang menggerogoti kliennya, yaitu masyarakat. Respek jelas tidak ada di situ. Kalau birkorasi yang korup itu punya rasa hormat terhadap masyarakat, tentu namanya tidak lagi disertai embel-embel korup. 

Lantas apa hubungannya dengan keluar dari rumah orang tua? Sesederhana alasan kenapa seorang perempuan yang mengalami kekerasan rumah tangga harus melapor pada polisi. Well, aku harap Anda mengerti. 


***

Kemarahanku pada dunia membuatku meletup-letup. Aku pribadi penuh emosi, dan terlalu sering tidak mampu menahan ataupun mengontrolnya. Aku mungkin gila mengontrol hal lain, tapi bukan emosiku sendiri. Itu juga seringkali membawaku pada sekian masalah. Sekarang, setelah aku pelajari lebih lanjut, itu membuatku jadi pribadi yang intoleran. Aku sulit menempatkan diriku di pihak orang lain, dan membuatku jadi amat sangat menyebalkan. 

Ya, aku benci diriku sendiri. Terlalu banyak menganalisis kekurangan diri sendiri, dan berfokus pada kekurangan itu membuatku terlalu mudah menjadi skeptis, bahkan terhadap diriku sendiri. Orang pun mulai menghakimiku dengan label "Dasar, susah bersyukur...", dsb. Padahal, jika ditelaah secara rasional, aku hanya terpaku pada kesempurnaan, sehingga aku lebih banyak berfokus pada apa yang kurang, bukan apa yang telah dilakukan. 

Di satu sisi tentu ada baiknya, aku lebih banyak melihat kekuranganku dibandingkan kekurangan orang. Tapi di sisi lain juga banyak buruknya. Aku jadi sulit bersyukur dan aku memandang rendah diriku sendiri. 

***

Untuk mempersingkat cerita, dengan semua naik-turunnya hidupku, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang kupikir akan bersamaku selamanya. Layaknya roman-roman picisan yang kubaca kala aku masih remaja, aku berpikir dia adalah laki-laki yang tepat, yang bisa memberikan segala yang kubutuhkan. 

Maklum, sejak kecil aku cuma bermimpi mempersiapkan hari pernikahanku, jadi ketika aku bertemu dengan laki-laki yang siap menuju jenjang pernikahan lahir batin, aku pun tidak mampu mengelak dari bunga-bunga mimpi tentang hari besar itu. Aku, yang sejak sekolah menengah sudah menyusun detil-detil kecil hari pernikahan pun semakin gencar menyusun perencanaan dengan skala lebih masif. 

Tetapi aku lupa pada fakta bahwa manusia bukanlah makhluk sederhana. Aku lupa bahwa terlalu banyak dinamika kehidupan yang membentuk karakter seseorang, dan untuk menuju sebuah pernikahan, ada terlalu banyak aspek kepribadian seseorang yang perlu ditelaah lebih dalam, disusuri, dan dipahami agar tercipta harmoni. 

Kami terlanjur terlena dalam asmara, dalam perasaan yang sesungguhnya tidak bisa membawa kami kemana-mana. Karena ada terlalu banyak pertengkaran, perselisihan, dan tabrakan-tabrakan yang tidak bisa dihindari karena apa yang kami bawa sejak mula. Tidak ada rasa saling percaya, dan tidak ada kerjasama. Yang ada hanyalah egoisme beringas semata. 

Jadi, meskipun ada rasa cinta, hubungan kami diwarnai terlalu banyak duka, yang aku pun tidak tahu lagi bentuknya. Semua saking banyaknya.

Kenapa ini jadi masalah, kemudian? Karena pada akhirnya aku terjebak dalam buaian-buaian keindahan pernikahan, keindahan hidup bersama, yang sesungguhnya tidak pernah ada. Karena pada dasarnya semua itu hanya imajinasi, yang tidak mampu terjalin secara nyata karena tidak ada usaha konkret yang menyusunnya. 

***

Aku merasa hancur, dihancurkan oleh makhluk bernama laki-laki. Tubuhku dan batinku sama leburnya. Aku tidak tahu siapa dan apa yang bisa dipercaya dan dipegang di dunia ini. Menurut sisi religiusku, tentu itu Sang Pencipta. Tapi aku juga butuh melihat manusia. Aku butuh menggapai sebuah kenyataan. Realitas kehidupan. 

Harapan? Aku tidak kenal lagi. Terlalu perih rasanya dikecewakan berulang-ulang, oleh orang lain dan diri sendiri. Hei, aku tidak pernah bilang diriku yang paling benar. Aku tahu aku berbuat salah juga di sini. Tapi kenapa harus aku? Kenapa aku tidak boleh menjahit mimpiku dengan orang yang tepat di usia ini?

Kenapa aku tidak boleh memiliki orang itu? Kenapa orang itu berbuat itu? Kenapa semuanya begitu rumit dan tidak terpecahkan?

Hopefully Hopeful

We have been through this several times already. Honestly, I don't know what's coming next. I just know that it needs to be over, whatever it takes. I might be the stupidest person on planet earth for wanting what's wrong, but I have this huge feeling I couldn't just cut and throw away. So hopefully, it will all be over soon. Hopefully, I will have a new energy to start every thing over.

Bingung

'What is going on with me?' perhaps hits the top of my most-asked question lists. A bunch of unexpected things happened just in two weeks time: the fight with my dad, my abrupt decision to get my own place, the interaction between me and him, my new office dynamics, thesis drama, and so many other things. How did those thing affect me as a human being?

I wouldn't say plenty. I have changed over time, and I was fine. I could still adapt and swim with the current. Yet, one of my friends just stroke me with one golden question: what is going on with me. Yes, what is going on with Gadis. She saw how I struggled with my mood swing, and it wasn't okay, at least according to the way she delivered it.

Honestly, I don't even know what is going on. I feel trapped in between the urge to be thankful, to surrender every single dot of my life to God, and to face the toughness in reality. Call me a drug addict, but I have a plateful of medicine over my desk, due to my immunity. Ask me why, I wouldn't be able to answer why I got symptoms of allergy. To what, no answer, either.

I was weak, and lonely. But I finally moved on from thesis migraine, family conflicts, even got a new employment that is sufficient to cover my living cost. So, should I be thankful for the condition? I think so. But, may I express my dislikes for I got infected by anonymous allergic symptoms? I really don't know.  

Saturday, July 13, 2013

Outside

Am waiting outside the arrival gate, with sappy eyes, and a paralyzed feeling. My body feels sick. Perhaps, my brain does too. 

I totally have no idea what is going to happen in the next few minutes. Nonetheless, I want it to determine yhe future of our togetherness. 

Hold no judgment, but I just want the best, whatever may come as the results.

Oh God. Please help.

Thursday, July 11, 2013

Open Wounds

I just got through one hell of stressful night. I would admit that I had experienced much worse nights, but I felt powerless last night. Tried to pray, ended up crying.

Does anybody know how it feels when you really love someone but you both just  can't be together?

That weariness dominated my overall feelings, although there were some other problems I thought of. 

I feel lonely, although I know I shouldn't feel that way. I have a lot of friends surrounding me with warmth, and most of all, I got my best friend, the One up above.

Still, nonetheless, I can't get those visualization off my mind. There were just burdening me and lowering down my stress tolerance even worse. 

How could you love someone but think to runaway at the same thing? How could two people fall deeply for one another yet not in tuned?

Why?