Monday, April 23, 2012

Sendu

Getir dan pedih. Aku mencari kamu. Kamu tidak ada. Aku butuh kamu. Kamu tidak ada. Lantas, bagaimana aku bisa berbagi? Tidak kah dapat denganmu?

Sunday, April 22, 2012

Tertatih


Bintik-bintik jerawat yang muncul di wajah selalu menandakan sesuatu. Perasaan berbunga-bunga karena jatuh cinta; sekumpulan permasalahan yang sedang melanda; atau musim runtuhnya indung telur yang telah tiba. Yang pasti, bintik-bintik yang hinggap di wajahku ini tidak lagi karena gelora asmara yang memang sempat memanas, tetapi karena segumpal pergulatan di kepala yang tak pernah usai, yang ingin kurangkai semuanya di sini. Sampai terasa lega dan menyisakan rongga.

Seperti yang telah berkali-kali kukatakan sampai bosan orang mendengar: aku lelah. Aku tidak pernah berhenti memikirkan ke mana hidup ini ingin kubawa. Ke mana hatiku akan bermuara. Aku tak menangkap ke mana kaki ini ingin melangkah dan aku semakin gerah dengan semua kegiatan yang menguras tenaga dan pikiran.

Dan dengan bodohnya hanya satu yang kutahu, kuyakini dengan kuat. Aku ingin dia. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengannya. Dengan orang yang selama ini kucoba pahami amarahnya, selami pemikirannya, dan cintai kekurangannya. Orang yang membuatku jatuh bangun dan tergila-gila untuknya. Aku takluk dengan pesonanya. Pesona yang di satu sisi menindas, tetapi di sisi lain terus mengganas.

Dia bukan orang yang sempurna. Justru aku melihat keterbatasannya untuk turut memahami aku, untuk setidaknya peduli dan memperhatikan aku. Menyayangi aku sebagaimana aku ingin disayangi. Dia tidak punya sedikitpun belas kasihan padaku dan pada hidupku. Herannya, aku tidak menyerah. Aku merasa dialah orang yang kutunggu-tunggu. Orang yang selalu kudamba sepanjang waktu. Dan aku ingin menghabiskan sisa hidupku berasamanya.

Walaupun pahit pasti terasa. Walaupun kegetiran terus meramaikan suasana. Walaupun sakit hati seakan pasti. Walaupun kesedihan menjadi tidak terelakkan lagi. Tapi aku mau! Aku mau diinjak-injak kebutaan akan cinta, karena itu adalah satu-satunya jalan mencapai bahagia.

Tak perlu bicara, aku tahu benar betapa kenaifan itu menguasai sendi-sendi tubuhku dan mengalir dalam darahku. Aku hanya mau mempercayai apa yang ingin kupercayai. Aku hanya ingin tahu bahwa aku mau mengabdi padanya. Pada orang yang tak pernah peduli pada pengabdian itu. Pada orang yang di banyak waktu mengecewakan aku.

Tentu, ada sejumput rasa dalam dada yang selalu berkata bagaimana ini semua akan berakhir. Kepahitan dan kesedihan yang mendalam. Egoisme yang terus mengadu dan mencapai ambang batasnya. Tetapi itu tidak membuatku mangkir. Aku ingin jalan terus. Mencintai dengan tulus.

Seandainya saja kamu tahu bagaimana aku padamu. Seandainya kamu tahu betapa dalamnya harapan yang bersemayam dalam hati. Seandainya kamu sedikit peduli.

Seandainya kamu pun berperasaan sejalan. Yang mungkin hanya khayalan. 

Kartini's Day Lessons


(Written on April, 21)

Today was just special. Firstly, because it was Kartini’s Day (a day celebrated by Indonesian to commemorate the fight of young Lady, named Kartini, to introduce women empowerment back then during the Dutch colonialism), and secondly because it was my 2nd Daddy’s birthday (the closest uncle I have ever had) and we celebrated “the occasions” by having the lengthiest discussion ever; the one that opened up another layer of ourselves that had never been unsealed earlier.

There were two key points I summarized from the conversation. First is the opportunity to identity myself better through the discussions. Second is the need for people to actually disclose what’s been going on in their life, despite the age or sexuality gap. 

***

I am outspoken, very indeed. I talk to people eagerly on a daily basis. I love to meet new people, but today felt so different because I began to realize something of importance. I really found myself through the discussions. Trying to explain the struggle I have been facing challenged me to see the problem in a bigger picture, before deciding on the frame of the story. And there was the moment I found myself. I found my weaknesses, through a new lens I got from the conversations. 

Now I realized how naïve I am. I believe what I want to believe. I am persistent, but in a bad way, which you might call it “stubborn”. And I don’t care. What I believe is right will stay the way it is, albeit the possibility of broken heart and other disturbances.

I stay in the relationship, because I want the relationship to work. I heard all the bad things about the one I love; critics; unfavorable opinions; and all those stuffs but I insist to stay. Merely because I love him and I want to believe that he is the right guy.

I still think he’s the one. The “little fight” we had did not deter my will to endure the pain. We are struggling, or probably I am struggling. To understand, to ease my ego, to be patient, to be less arrogant.  I am seriously struggling and this is not easy at all. People might say that all that efforts will result to no avail due to the fundamental differences we have, or to be clear, the same amount of ego residing within each heart. I don’t give a damn about that. All I know is that I want to fight till the end of time. Till there’s no way I could save the relationship. I believe in the power of love, and so I want to crack every obstacle coming in.

Any risk will not discourage me. Even severe broken heart will not get in the way. Because I still think this will work. With no guarantee it will. In fact, his behavior is getting on my nerves and there are times I cried for I was so frightened that it would only direct us to the end. But I am still here, crawling my way in to the better relationship with him. I am trying.

Naïve, as I have said before, would be the perfect term to describe myself because I ignore all the possible risks under the reason that every way has its own consequences, which will always be lesson learned for each of us. The risks may be blatantly imminent, like what I am having right now, but the perseverance still exists.

Call me stupid. Yes I am. Apology for being myself.

***

I would never recognize the need of self-disclosure, especially when we are talking about this particular uncle. He has gone through tremendous battle of life, yet he was never this open to me before. It wasn’t because it’s his birthday that he talked to me that way. We just hit the right moment, and boom, the lengthy discussion ever began smoothly. Covering a lot of things in life, I found his battle in life, my own battle, and myself, as I have mentioned before.

What we talked about was probably not that essential to be discussed here. But I discovered the need that had been dwelling in his heart, waiting its right second to blurt out. It turned out, despite his "dignity" not to be vulnerable in front of young kid like me, he actually opened up a lot of secrets he had withheld the whole time. And it was just a pleasure to know that somebody trusted you by telling their fragile side. An honor for me to be trusted that way. He chose me over somebody else. Me, the 20 year old kid who is naive and very much immature. 

***

Other than that, Kartini's Day gave me another lesson of life through watching The Lady, a film portraying the story of Aung San Suu Kyi, the daughter of Myanmar's Revolution Hero, Aung San. But I will write a special posting regarding the awesome story because it will cost more than two pages of papers, I reckon. 

So, yes, this year's Kartini's Day was so special. A new perspective coming towards, leaving me with tons to think about further. 

Happy Kartini's Day!

Friday, April 20, 2012

Loner

This is me, spending time alone in the corner of Dutch Restaurant, with all heart and soul directed to you, as always. I have no intention of being cranky, or melancholic, or drama queen. I just miss you, dear, albeit the pouring rain or the crazy traffic. 

Wednesday, April 18, 2012

T(w)itit!

Isu seksualitas adalah sesuatu yang tidak pernah ditinggalkan Djenar Maesa Ayu. Justru, isu tersebutlah yang selalu diangkat dalam karya-karya terdahulu hingga yang terbaru. Dengan kekhasan kalimat yang berima sama, dia memadukan protes kerasnya terhadap masa lalu, yang dianggapnya sudah berlalu, tapi sebenarnya menimbulkan pilu.

T(w)itit! bagi saya adalah sebuah otobiografi. Cerita yang sebenarnya disalurkan dari hati. Pengalaman pribadi. Diangkat untuk mengulasnya kembali. Dalam barisan-barisan pemikiran masa kini.

Jauh lebih sulit dicerna, memang. Terutama untuk kapasitas otakku yang lebih sering gamang. Tetapi tulisannya tetap menendang. Membuat rasio kembali berdendang.

Madre


Senyuman ini mungkin tidak akan pudar, bernaung selama-lamanya di wajah, juga di hati. Madre membuatku berbunga-bunga. Setiap lembarnya begitu berharga. Setiap ceritanya begitu menggugah. Seolah aku turut terbang ke angkasa bersama setiap karakternya.

Di sanalah kutemukan permenungan Dee atas hidup dan cinta, yang ditelusurinya lewat berbagai lika-liku yang ada. Dengan bebas dan cerdas dia mengeksploitasi dan menyusuri setiap irama kehidupan yang unik dan tak kalah menarik. Dia lah yang membangkitkan perasaan haru, campur sumringah, tak karuan. Degup jantung seakan terpacu, terbawa bersama alunan melodi cerita dan prosanya.

Karyanya begitu hidup, dekat, dan nyata. Sama seperti sukacita yang ditinggalkannya padaku usai membacanya.

Madre mengutarakan berbagai kisah manusia yang dihinggapi berbagai problematika atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hidup. Hati kita seolah tergelitik untuk mengulang pertanyaan yang sama pada diri. Untuk itulah Dee memperingatkan para pembacanya sebelum memulai perjalanan membaca, “Tidak semua permenungan itu berujung pada jawaban. Seringkali, malah pertanyaan barulah yang lahir. Tak mengapa. Bagi saya, hidup adalah proses bertanya. Jawaban hanyalah persinggahan dinamis yang bisa berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita. Namun, pertanyaan lah yang membuat kita terus maju.”

Filosofi Kopi

Sepuluh tahun pergulatan Dewi “Dee” Lestari menjadi penulis di tengah kesibukannya bermusik akhirnya termunculkan dalam Filosofi Kopi, yang berisikan kumpulan prosa dan cerita yang dipaparkannya secara ringan namun tajam, jujur namun menyentuh. Uraian-uraian mengenai emosi yang begitu manusiawi terbaca lewat karyanya ini.

Aku bukan siapa-siapa untuk menilai, tapi melihat tulisan-tulisannya, aku merasakan adanya pencarian jati diri yang sesungguhnya dalam jiwa Dee. Dia mencari bentuk, rupa, dan aroma yang tepat bagi hasil pemikirannya yang kemudian dituangkannya dalam karya demi karya.

Kekuatan yang kutemukan dalam tulisannya terletak pada daya imajinasi yang begitu intens terasa, yang kemudian dibuatnya bersinergi dengan kemampuan Dee menerjemahkan setiap imajinasi ke dalam metafora, yang dapat ditangkap panca indra dan emosi manusia. Tidak hanya itu, Dee juga mampu menciptakan benang merah dari metafora-metafora yang dilahirkannya. Kekuatan inilah yang membuatnya berdiri tegak di arus kesusasteraan Indonesia dewasa ini.

Filosofi Kopi memberikan seberkas cahaya baru tentang pergumulan manusia di tengah himpitan zaman yang semakin menjadi-jadi.

Monday, April 16, 2012

Musuh Bernama Perasaan

Begitu hebatnya perasaan bisa mengatur hidup manusia, atau hidupku lebih tepatnya. Keperkasaannya mampu menjatuhkan aku ke dalam lubang terdalam, tetapi juga sanggup mengangkat aku melampaui angkasa luar. Hidupku dipermainkannya. Aku dipermainkannya.

Aku guncang setiap kali dihunus tajam barang setitik saja. Aku rapuh kala ditampar dalam sekerjap mata. Pun mendadak euphoria ketika dipuji barang sekata.

Kebencian itu ada, hasil persetubuhan kepala dengan rasionya. Benci aku pada perasaan ini. Benci pula pada diriku sendiri. Aku dipermalukan olehnya. Aku disudutkan olehnya berkali-kali. Nyata.

Ingin rasanya kulempar jauh-jauh perasaan ini. Tapi apa artinya manusia tanpa perasaan? Apa bedaku dengan binatang? Tapi mengapa terus merongrong tanpa henti? Mencabik-cabik tubuh yang lemah dan terus menancapkan duri?

Perih. Sakit. Pedih. Pahit. Semuanya bercampur aduk mengendalikan diri saat ini.

Kenapa hanya aku yang begini? Kenapa tidak manusia lain? Kenapa tidak laki-laki yang tak berperasaan itu?

Aku ingin berkelit. Berlari jauh mencari perlindungan. Tapi kemana?

Thursday, April 12, 2012

Masa Depan ?

Tidak habis-habis rasanya, pertanyaan-pertanyaan yang muncul setiap harinya. Bukan pertanyaan biasa, tetapi pertanyaan akan tujuan hidup saya yang sebenarnya. Sejujurnya, setiap pagi yang saya lewati dianugerahi secercah harapan untuk menemukan tujuan hidup saya hari itu. Tetapi hari demi hari pun berlalu, meninggalkan sekelumit pemikiran yang bergumpal layaknya benang kusut. Hari berpindah, pertanyaan tetap tinggal pada tempatnya. Bertambah, dan semakin menumpuk saja.

Hari ini pun demikian. Pula hari-hari kemarin. Diskusi-diskusi yang terlewat bersama kekasih semakin merongrong batin dengan pertanyaan-pertanyaan yang kadang terlupa. Belum lagi para sahabat juga menekan saya dengan halus dan tanpa sengaja untuk merenungkan pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Galau, terlalu malah. Ingin rasanya memberontak dan memecahkan segala. Tapi buat apa? Buat jawaban atas sesak di dada? Tampaknya takkan ada hasilnya.

Merenung? Bertapa? Kurangkah permenungan saya selama ini? Kurangkah pergumulan hati saya di waktu yang telah lalu? Mengapa tak saya temukan juga sebuah jalan yang ingin kutuju? Dengan lubang-lubang yang pasti saya lalui dan perbukitan yang pasti saya daki? Meski dengan kepedihan hati yang juga pasti?

Perasaan ini telah merasuki saya. Jauh, sejak dulu. Sejak ratusan, bahkan ribuan hari yang lalu. Saya tidak punya keyakinan. Tidak, atas diri saya sendiri. Saya merasa payah. Apa yang saya punya dan dapat saya banggakan pada orang? Apa yang bisa saya tekuni hingga saya dapat merasa bahagia? Mau dibawa kemana hidup ini? Maukah berlari mengitari lorong yang sama terus-menerus? Maukah mengepakkan sayap ke pegunungan asing? Saya jalan di tempat. Sejak dulu. Tanpa tahu apa dapat saya lakukan bagi bangsa ini.

Idealisme ada. Ide pun tak kalah. Tetapi mengapa tak kunjung juga keyakinan itu datang? Tidak juga keragu-raguan itu hilang? Akankah esok jadi esok yang sama? Sampai kapan?


Akankah angin bertiup dan membisikkan sejumput kata-kata manis? Ataukah bilur perih justru datang lagi dan lagi?

Tuesday, April 10, 2012

Demotivated

All of sudden, I feel demotivated to do anything. Began to think that none of what I did matters anymore, although without any proper reasons. I am just so much demotivated. List of my current and potential activities in front seems overwhelming. Even, it fogs up my mind. Am I doing the right thing in life? Am I good enough? Am I worthy enough?

Thursday, April 5, 2012

Thank You

Praise to God for all the blessings I got. I know You are there. Thank You. Thank You.
I know it would not be enough, especially with the misconducts I did.
But I want to thank You for the endless love.

Cerita Cinta Enrico


Tidak pernah habis rasa kagum saya membaca tulisan Ayu Utami. Halaman demi halaman terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Setiap katanya memberikan kesan yang amat mendalam di dalam lubuk hati. Terlebih dari itu, saya menangkap kesamaan dari tulisan beliau dengan almarhum Pramoedya Ananta Toer, yang juga salah satu tokoh inspirasional idola saya, terutama ketika Ayu berusaha mengangkat kritiknya terhadap peristiwa sejarah yang melingkupi hidupnya dan memperlihatkan permukaan sejarah dari wajah yang berbeda.

Enrico tumbuh dalam situasi pergerakan sejarah Indonesia melawan intrusi Barat di tanah air, diceritakan menghadapi berbagai kemelut hidup dan kerasnya kehidupan. Secara gamblang Ayu mengungkapkan betapa didikan orang tua dan lingkungan mempengaruhi perkembangan seorang anak, remaja, pemuda, hingga akhirnya menjadi orang dewasa yang sama sekali berbeda. Di sinilah saya bisa merasakan betul kejujuran Ayu dalam menampilkan realitas hidup yang tak banyak disadari manusia modern zaman sekarang. Kemahirannya menggambarkan setiap suasana dengan penuh nuansa emosional, terutama kala Enrico mengalami pergumulan dengan keminoritasannya, dengan agama, dengan kasih terhadap ayahnya, maupun kekecewaan kepada ibunya, benar-benar menusuk dinding-dinding hati saya.

Nilai-nilai yang dianut Ayu dalam hidup selalu terpatri dalam setiap tulisannya, baik implisit maupun eksplisit. Tetapi itulah yang selalu menjadi bahan perenungan atas kekaguman saya pada beliau. Karena beliau selalu membuat saya membutuhkan waktu untuk sendiri, melihat ke kedalaman hati untuk tahu apakah apa yang saya percayai telah benar, apakah saya berbuat hal yang benar dalam hidup, namun yang terpenting, apakah telah cukup otak saya berputar dan berpikir mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terlontarkan? Karena saya yakin, seluruh pergumulan hidupnya lah yang membuatnya "kaya" akan begitu banyak pengetahuan dan pemikiran-pemikiran hebat.

Perempuan ini begitu cerdas dan menginspirasi. Profisiat. Salut.


*PS: Terima kasih Hasti Triana Putri untuk bukunya :)