Monday, October 31, 2011

Certainty

At the end, it is certainty that kills me. It sucks my blood till I could no longer think rationally. And it was started when I realized that I was not sure of what I was doing at the moment. I was not sure of my feeling either. All I knew was that I was trapped in a crossroads where no signs available to arch me somewhere.

I have been investing my time, energy, effort, almost everything to this one person, including my ego, if ever. Yet, no apparent result, probably not yet. But still, I am afraid it was for nothing.

It might be an enjoyable journey for some, but not for me. I want that certainty. I need stability over my life. And this is surely killing me. I hate complaining for nothing. I want him to be honest and be firm. Stop playing around, would you please? I am suffering in here.

Saturday, October 29, 2011

Sayang Sekali

Telah lewat beberapa hari sesungguhnya, ketika perasaan ingin menulis itu tiba. Dan telah tertulis semua perasaan di dada sesungguhnya, ketika semuanya terhapus di sini juga. Jadilah perasaan malas menggerayangi akibat usaha yang tergerus sia-sia karena cacat teknologi.

Ada terlalu banyak isi hati ini. Ingin dilontarkan semua tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Tapi baiklah, akan aku coba juga.

Pertama, Ketie berkata aku tak bagus menulis dalam bahasa. Padahal aku lagi gemar sekali menghabiskan waktu bercakap dalam bahasa, sebab dari membaca Bumi Manusia. Hmmm, itu pun sebabnya aku masih menulis dalam bahasa di beberapa posts terakhir, termasuk post ini. Rasa-rasanya kemampuan menulis dalam Inggris turut hilang dan memudar bersama dengan keasyikanku mengeksplorasi bahasa ini. Kuharap nanti ada waktunya untuk belajar menulis lagi.

Kedua, aku kehilangan keseimbangan. Aku kehilangan disiplin diri. Aku mulai terlalu banyak memberikan excuse pada semua kesalahan yang kulakukan. Aku membuat justifikasi untuk hal yang kuketahui salah. Aku membuat rasionalisasi untuk menyamankan pikiran dan hatiku. Dan aku tahu ini salah besar. Aku sendiri jadi tidak teratur, malas, gendut. Semuanya akibat terlalu banyak makan dan tidur, dengan alasan kerja keras harus diimbangi dengan bayaran yang sepadan. Semua kegiatan sebisa mungkin aku skip untuk istirahat. Alhasil, begini jadinya diriku, dipenuhi tumpukan lemak yang seharusnya bisa hilang jika aku ada sedikit saja niat berolahraga. Nyatanya, niat itu hilang entah kemana, mungkin terbawa mimpi dalam tidurku yang lelap.

Ketiga, aku masih menginginkan beasiswa itu. Aku masih sangat berkeinginan meninggalkan dataran ini semester depan. Aku masih ingin mengubur kenangan pahit itu. Aku masih ingin berlari mencari kebahagiaan sendiri. Tapi semuanya tidak mungkin, karena semuanya sudah lewat. Kesempatan yang lain sudah datang menjemput tanpa mungkin ditolak lagi. Sampai jumpa, Amerika.

Keempat, aku terus-menerus merenungi hubunganku dengan si dia. Rumit sekali rasa-rasanya. Sepertinya aku terlalu banyak berpikir. Terlalu banyak menggali, dan kemudian kupertanyakan kembali ketulusan dalam hatiku, jika memang ada. Apakah ini dasar rasionalisasi atau murni emosi?

Kelima, mengapa aku merasa asing dalam lingkungan ini? Don't I belong to them? Haruskah aku pergi jika lantas mereka tak merasa membutuhkanku lagi?

Hidup ini penuh pergumulan yang seakan tiada habisnya.

Tuesday, October 25, 2011

Bumi Manusia


Membaca Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer membuka mata saya akan kecintaan terhadap sastra. Selama ini tak pernah terbersit di kepala untuk membaca roman yang mengambil latar di zaman penjajahan Belanda, kala pemisahan Totok, Indo, dan Pribumi begitu kental dan kejamnya. Ya, Pram mengisahkan seorang Pribumi yang beruntung dapat bersekolah di lembaga pendidikan Eropa karena darah birunya. Diceritakan pergelutan seorang Indonesia yang punya semangat besar untuk belajar, menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pegangan keberhasilan. Dan Eropa, sebagai kiblat ilmu pengetahuan kemudian dipersepsikan sebagai pusat peradaban yang agung. Benar adanya demikian. Namun ternyata halaman-halaman berikutnya mengangkat bagaimana bangsa kulit putih itu telah menginjak-injak apa yang selama ini mereka ajarkan lewat pendidikan, ketika ketidakadilan mereka ciptakan dan lestarikan di bumi pertiwi ini. Minke, si aktor utama itu dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa Annelies, orang Indo yang selama ini dinikahinya di bawah hukum Islam, atas peraturan bangsa dari utara tersebut. Dari sinilah saya merasa tertegun, seakan ditegur oleh ulasan-ulasan beliau.

Nasib saya kurang lebih layaknya Minke. Selama ini saya banyak memberikan pujian kepada bangsa Eropa akan segala kehebatan yang dimilikinya. Inggris dan kekuatannya menaklukan dunia, adalah salah satu bagian yang takkan pernah saya lupakan. Saya begitu mengidam-ngidamkan Eropa, sampai-sampai rasanya banyak menyumpah kasar kepada tanah yang saya diami ini. Terlalu banyak, sesungguhnya terlalu banyak hal yang saya anggap "baik" untuk dicontoh dan dimiliki negara ini. Namun pada akhirnya semua miliki kekurangannya masing-masing. Bangsa yang besar dan mega kuasa itu bukanlah jawaban dari semua persoalan. Karena masing-masing punya persoalan masing-masing. Kelebihan dan kelemahan masing-masing.

***

Bumi Manusia, menjelaskan betapa peliknya kehidupan manusia yang diliputi oleh tangis dan air mata, dan tanpa terkecuali perjuangan. Dan itulah yang sengaja ditonjolkan oleh Pram karena beliau percaya bahwa "Cerita, ...., selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa, atau dewa, atau hantu. dan tak ada yang lebih sulit dipahami daripada sang manusia.... jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar pengelihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cuku, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-ratap kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput."

Ada terlalu banyak kata untuk menggambarkan kecintaan saya pada novel ini. Novel yang benar-benar menarik hati untuk terus membaca dan membalik halaman demi halaman. Pram banyak mengajarkan hal tentang hidup, tentang menulis, tentang mencari dan mengamalkan ilmu. Satu kata: bravo.

Satu lagi kalimat yang melekat di kepala adalah bahwa "Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan," mengajarkan kebijaksanaan yang sesungguhnya. Kebijaksanaan yang pantasnya dimiliki seorang intelektual.

Fany Nasution


Sobat saya yang satu ini memang unik, kalau tidak bisa dibilang aneh. Memang, siapa saya untuk menghakimi seseorang sebagai aneh? Unik betul, sampai banyak sekali perbedaan pendapat di antara kami. Dari hal kecil hingga besar, pemikiran kami sering bertabrakan. Untungnya tidak banyak terjadi dalam mengerjakan tugas kelompok di Program Studi Hubungan Masyarakat kampus (tidak) tercinta ini, atau mungkin itu disebabkan keengganannya berdebat panjang dengan manusia suka bicara seperti saya ini, terserahlah, itu bukan masalah.

Hari ini memang banyak saya habiskan dengannya, tak seperti hari-hari lain di mana saya banyak menghindar dekat karena dia banyak berurusan dengan dunia orientasi mahasiswa baru itu. Kulihat aktivitas padatnya sepanjang hari ini, yang ingin saya simpulkan dengan satu kata: gila. Saya banyak bekerja keras, dan dia pun sama. Saya sibuk mengajar dan mengumpulkan uang sana-sini, mencari pengalaman dan ilmu, sementara dia sibuk membantu kiri-kanan di banyak organisasi kampus dan himpunan mahasiswa tempatnya berada. Saya acungkan jempol untuk usahanya yang tak kenal lelah itu. Tak habis pikir memang, pikir saya, mengapa orang semacamnya, yang punya banyak potensi mau menghabiskan banyak waktu melakukan kegiatan yang kuanggap super sia-sia itu. Ayolah, membenarkan berbagai perintilan kecil alat publikasi acara komunikasi binaan Yovita Ayu Liwanuru, menempel poster di sepanjang papan komunikasi fakultas ini, meninggalkan makanannya hingga dingin untuk mengurus izin pemasangan media publikasi lainnya. Huh. Lelah aku melihatnya. Mendengarnya saja saya geleng-geleng kepala, apalagi disuruh mengerjakannya. Tak sanggup saya untuk tidak berhenti mengeluh pastinya.

Tapi dia? Mengerjakannya dengan sangat sabar, penuh pemikiran positif, tanpa keluhan. Ada sih beberapa keluhan karena kesulitan yang ditemuinya. Namun, pada akhirnya dia akan berpasrah dan mengerjakan semuanya sendiri. Hebatnya. Aku pasti tak akan mampu jadi dirinya.

Menit-menit yang berlalu oleh obrolan kami membuat saya mengenalnya lebih jauh. Mencoba memahami pemikirannya yang selama ini saya anggap tak terselami. Tapi biarlah, bukankah dalam hidup ini kita harus selalu saling menghargai. Dan saya menghargai usaha dan ketulusannya membantu sesama.

Profisiat, Fany Nasution. Lanjutkan kerja kerasmu! Semangat!

Geeky

Aku hanya haus akan ilmu. Aku hanya merasa tidak punya modal yang cukup untuk bersolek (tentunya bersolek dalam definisiku). Aku tak mau berlagak banyak tingkah selama aku tidak punya kapasitas otak yang cukup. Dan mungkin itu yang mendorongku menjadi seperti sekarang ini. Jujur saja, aku baru sadar hari ini. Aku sadar kalau aku seorang geek. Geek versi modern, yang tidak lagi melulu masalah kacamata tebal berbingkai sama tebal, polo shirt berkerah yang terkancing hingga pangkal leher, atau jinjingan buku di pelukan kemanapun melangkah. Bukan, aku bukan geek semacam itu. Aku geek varietas baru, yang tak mau bercengkrama atau bercanda tawa selepas kuliah, atau sekadar kongko-kongko dengan teman sebaya membahas gosip kawan baru maupun lama. Bisa dihitung dengan jari tangan kiriku, kala aku benar-benar punya waktu untuk itu semua. Aku lebih memilih tak dengar kabar terbaru mengenai apapun, tetapi langsung pulang untuk mengajar atau mengerjakan sambilan pekerjaan. Aku juga akan memprioritaskan waktu baca buku roman kesukaanku di akhir minggu, daripada bergaul ke pusat-pusat perbelanjaan Ibukota dengan kawan sejawat.

Tanpa selama ini kusadari, aku memang geek. Dan itu kusadari hari ini, seusai berbincang dengan Fany Nasution di kala membantunya menempel poster untuk acara departemen kami. Kupikir, selama ini hidupku normal, hanya idealis, walaupun seringkali juga berusaha realistis. Aku hanya suka belajar. Karena aku cinta mengajar. Aku hanya mau mengerjakan apa yang kurasa berharga untuk masa depanku. Dan aku memang terfokus pada hal-hal besar yang signifikan, dalam kamusku tentunya, yang kesemuanya bertolak belakang dengan prinsipnya.

Malu sebenarnya, dibilang geek, secara term itu selama ini berkonotasi negatif, menggambarkan orang yang cenderung out of date, ketinggalan zaman, tidak pandai bergaul, kutu buku.

Tidak malu juga sebenarnya, karena toh aku bukan tipe orang yang peduli apa kata orang, kecuali sahabat-sahabat terdekat.

Tapi tetap saja. Hal ini merasuki pikiranku sampai aku memutuskan untuk menulis sesuatu tentangnya.

Salahkah aku selama ini, jika begitu yang benar terjadi?

Screw this hatred

I hate being moody. And I hate being so critical with everything.
But I gotta accept everything I have, including my weaknesses whatsoever.

I just hate the fact that there are too much to hate, although much to be thankful for.
I hate the fact that people see me negatively and let me perceive myself the same way.

Oh, how I actually hate myself.
And how I have repeated the whole same thing over and over again.
And never to find farewell time for this dumb-ass mind.


Monday, October 17, 2011

I hate monday

My day has just fallen into pieces, just like my heart.

Okay, I did not mean to exaggerate things.

I am just moody, and I am in the extreme stage of bad mood.

Anything happened today was just driving it worse.


The tension I am having with my dad apparently affected me that much.

I keep on thinking about it till I stroked a car, and almost got killed by accident few times today (not only once, but seriously few times).


I couldn't hold my self together to concentrate.

I am crying inside.

Monday, October 10, 2011

it is ended. officially.

You and I are just stubborn. And with that we will never go anywhere we want to.
You wish I understand you, and I have been wishing the same thing as you.
But our path seems to never cross.

I always wish you would have known all this.
But I guess I have been talking to myself.

Saturday, October 8, 2011

Another Review

Below, are the list of wonderful quotes from the three books I have finished in the past three months. Hope you'll find it useful too.

* Have a Little Faith by Mitch Albom
"This is why," the Reb said, "faith is so important. It is a rope for us all to grab, up and down the mountain. I may not be remembered in so many years. But what I believe and have taught - about God, about our tradition - that can go on. It comes from my parents and their parents before them. And if it stretches to my grandchildren and to their grandchildren, then we are all, you know ... "

"Connected?"

"That's it."


* Letters to Sam by Daniel Gottlieb

Once, a man came home late one night to find he was locked out of his house. His neighbor saw him searching for his keys under the streetlight and joined him in his search. Soon, several other neighbors joined in, everyone trying to help their neighbor find his keys.

After a while, one of them asked where he'd last seen the keys.

"Near the front door."

The neighbor was puzzled. "Then why are you looking all the way down here by the streetlight?"

"Because the light is better!"

Sam, this parable comes to mind as I'm thinking about the road maps that we use to guide us in our lives. Often when we look for answers, we automatically go where the light is better. But sometimes we need to go where it's dark.


* Mimpi Sejuta Dolar by Merry Riana



Kita tidak bisa mendapatkan perubahan apapun dalam hidup jika hanya berpikir dan berpikir. Bahkan ketabahan dan kesabaran juga hanya menjadi dasar dan penjaga. Ada saat di mana kita harus bergerak. Memutar pikiran, menggerakan tubuh, bekerja konkret. Jika belum ada jalan menuju pekerjaan impian, atau kita belum menemukan gambaran seperti apa pekerjaan impian itu, lakukanlah apa saja yang kita bisa, dengan baik. Karena itu membuat sel-sel tubuh kita belajar berinteraksi dengan kerja keras dalam artian konkret.

Extraordinary Life

A positive energy has resided within my heart. And that was extraordinary.


I am perplexed at how wonderful a life can be. It has been dramatic and miraculous at the very same time. Like me, a very negative thinker, can now speak of positive energy. Is that even possible? But yeah, human can change in one second, or even in a blink of an eye, who can guess? It is all unbelievable. But it is true.

If I could simply explain how I could change this drastically, I would appoint Malcolm Gladwell for his remarkable book, Outliers. Although I haven't finished reading it, the idea smuggled slowly but sure to my unconscious mind. I was moved by his thought saying that success not only came of hard work but also of privilege. We just tend to not seeing it.

And now I have came to conclusion, also moved by Mitch Albom's Have a Little Faith, Daniel Gottlieb's Letters to Sam, and the very own Merry Riana's Mimpi Sejuta Dollar, that I am privileged in my own way. I am trapped in the so called screwed and fucked up life, where I should sweat for more only to pay off my laptop allowance while my friends were happy with their freedom, but then I am under the privilege to do something a girl my age wouldn't even think about.

Privilege comes not always in a very good situation. It can come in disguise too. And my strict parents, for God sake, are my privilege for they have shaped me up with discipline, hard work, and ability to do more. Santa Ursula does take place in this one too. If it's not because of them, I wouldn't become a strong and independent girl (not yet a woman). So now, I could say that everything I did, I tried to do but fail, I said, I read, and everything that an environment could have offered successfully bring me to the stage I am in now.

Am not saying I have fought all the flaws inside. But I truly believe in the power of positive regards that I can change my life as long as I want to change my perspective towards it.

I know my utmost purpose of life is to inspire. And I promise myself that I would.
I shall succeed.