Monday, July 22, 2013

AADSAJFHERBOVCSFGK

Linier. Mungkin kata itu tidak pernah ada di dalam kamusku. Bergejolak. Itu lebih tepat mendeskripsikan dinamika hidupku yang penuh drama. Aneh, memang. Mau tidak mau, aku harus mengakui bahwa di dalam pembuluh darahku mengalir sebuah teka-teki, yang menginginkan keterombang-ambingan itu. Aku tidak tahu apakah itu karena bawaan OCD (obssesive-compulsive disorder)-ku, atau karena I am simply a drama-queen, tapi sekarang semuanya benar-benar memuncak menghancurkan aku. 

Sulit rasanya menterjemahkan semua komplikasi dan kerumitan di kepala ke dalam kata-kata yang dapat dicerna. Rasanya, aku ingin menumpahkan semua di meja dan berharap akan ada seseorang yang datang menyusunnya. Mudah dimengerti kalau aku memang lebih mudah berceloteh dibandingkan menuliskan perasaan, karena nyatanya aku sendiri kesulitan memetakan persoalan di kepalaku.

Bahkan kalimat-kalimat di atas hanyalah sampah yang kurapikan untuk dapat merunutkan apa yang sebenarnya ingin aku ucap di sini. Jelas sudah ketidakmampuanku mengurai masalah. 

***

Aku selalu merasa hidupku hancur. Terlepas dari semua kesempatan dan keistimewaan yang aku miliki sebagai seorang Gadis, aku merasa hancur. Banyak orang memuji dan merasa takjub dengan hidup yang kumiliki. Tidak ada kesulitan tertentu dalam bidang akademis, aku punya keluarga yang lengkap, dengan keadaan finansial yang berkecukupan, manajemen waktu yang baik, dan kesempatan yang begitu melimpah untuk berbuat banyak hal di tempat aku tinggal. 

Yang membuatku sulit sesungguhnya adalah kerasnya kepalaku, dan kuatnya niatku untuk menjadikan segalanya sempurna. Aku gila kontrol. Sebagian orang menyebutnya, control freak. Aku ingin mengatur segala sesuatunya, aku butuh kepastian, dan aku ingin segala sesuatunya sempurna. Alhasil, di sinilah aku sekarang. 

Aku marah dengan dunia, yang dibentuk oleh banyak sistem yang tidak adil. Dunia yang begitu menghakimi, dan semuanya dinilai dengan hitam atau putih. Aku tidak suka pandangan bahwa kita harus hormat kepada orang yang lebih tua, karena buatku, meminjam kata-kata seorang teman, respek adalah sesuatu yang universal. Respek tidak memandang bulu. Tidak ras, tidak umur, tidak suku, ataupun jabatan, kelas, apapun itu. Kita, manusia, pada dasarnya harus hidup dengan saling menghormati. Itu saja. Siapapun itu, berhak mendapatkan respek dari siapapun. 

Alasan itu yang membuatku secara acak:
1. Membenci birokrasi yang korup.
2. Keluar dari rumah orang tuaku. 

Hmmm, tidak jelas apakah sebenarnya semua itu berhubungan atau tidak. Tapi, well, birokrasi yang korup memperlihatkan sistem yang begitu bertele-tele tapi di belakang menggerogoti kliennya, yaitu masyarakat. Respek jelas tidak ada di situ. Kalau birkorasi yang korup itu punya rasa hormat terhadap masyarakat, tentu namanya tidak lagi disertai embel-embel korup. 

Lantas apa hubungannya dengan keluar dari rumah orang tua? Sesederhana alasan kenapa seorang perempuan yang mengalami kekerasan rumah tangga harus melapor pada polisi. Well, aku harap Anda mengerti. 


***

Kemarahanku pada dunia membuatku meletup-letup. Aku pribadi penuh emosi, dan terlalu sering tidak mampu menahan ataupun mengontrolnya. Aku mungkin gila mengontrol hal lain, tapi bukan emosiku sendiri. Itu juga seringkali membawaku pada sekian masalah. Sekarang, setelah aku pelajari lebih lanjut, itu membuatku jadi pribadi yang intoleran. Aku sulit menempatkan diriku di pihak orang lain, dan membuatku jadi amat sangat menyebalkan. 

Ya, aku benci diriku sendiri. Terlalu banyak menganalisis kekurangan diri sendiri, dan berfokus pada kekurangan itu membuatku terlalu mudah menjadi skeptis, bahkan terhadap diriku sendiri. Orang pun mulai menghakimiku dengan label "Dasar, susah bersyukur...", dsb. Padahal, jika ditelaah secara rasional, aku hanya terpaku pada kesempurnaan, sehingga aku lebih banyak berfokus pada apa yang kurang, bukan apa yang telah dilakukan. 

Di satu sisi tentu ada baiknya, aku lebih banyak melihat kekuranganku dibandingkan kekurangan orang. Tapi di sisi lain juga banyak buruknya. Aku jadi sulit bersyukur dan aku memandang rendah diriku sendiri. 

***

Untuk mempersingkat cerita, dengan semua naik-turunnya hidupku, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang kupikir akan bersamaku selamanya. Layaknya roman-roman picisan yang kubaca kala aku masih remaja, aku berpikir dia adalah laki-laki yang tepat, yang bisa memberikan segala yang kubutuhkan. 

Maklum, sejak kecil aku cuma bermimpi mempersiapkan hari pernikahanku, jadi ketika aku bertemu dengan laki-laki yang siap menuju jenjang pernikahan lahir batin, aku pun tidak mampu mengelak dari bunga-bunga mimpi tentang hari besar itu. Aku, yang sejak sekolah menengah sudah menyusun detil-detil kecil hari pernikahan pun semakin gencar menyusun perencanaan dengan skala lebih masif. 

Tetapi aku lupa pada fakta bahwa manusia bukanlah makhluk sederhana. Aku lupa bahwa terlalu banyak dinamika kehidupan yang membentuk karakter seseorang, dan untuk menuju sebuah pernikahan, ada terlalu banyak aspek kepribadian seseorang yang perlu ditelaah lebih dalam, disusuri, dan dipahami agar tercipta harmoni. 

Kami terlanjur terlena dalam asmara, dalam perasaan yang sesungguhnya tidak bisa membawa kami kemana-mana. Karena ada terlalu banyak pertengkaran, perselisihan, dan tabrakan-tabrakan yang tidak bisa dihindari karena apa yang kami bawa sejak mula. Tidak ada rasa saling percaya, dan tidak ada kerjasama. Yang ada hanyalah egoisme beringas semata. 

Jadi, meskipun ada rasa cinta, hubungan kami diwarnai terlalu banyak duka, yang aku pun tidak tahu lagi bentuknya. Semua saking banyaknya.

Kenapa ini jadi masalah, kemudian? Karena pada akhirnya aku terjebak dalam buaian-buaian keindahan pernikahan, keindahan hidup bersama, yang sesungguhnya tidak pernah ada. Karena pada dasarnya semua itu hanya imajinasi, yang tidak mampu terjalin secara nyata karena tidak ada usaha konkret yang menyusunnya. 

***

Aku merasa hancur, dihancurkan oleh makhluk bernama laki-laki. Tubuhku dan batinku sama leburnya. Aku tidak tahu siapa dan apa yang bisa dipercaya dan dipegang di dunia ini. Menurut sisi religiusku, tentu itu Sang Pencipta. Tapi aku juga butuh melihat manusia. Aku butuh menggapai sebuah kenyataan. Realitas kehidupan. 

Harapan? Aku tidak kenal lagi. Terlalu perih rasanya dikecewakan berulang-ulang, oleh orang lain dan diri sendiri. Hei, aku tidak pernah bilang diriku yang paling benar. Aku tahu aku berbuat salah juga di sini. Tapi kenapa harus aku? Kenapa aku tidak boleh menjahit mimpiku dengan orang yang tepat di usia ini?

Kenapa aku tidak boleh memiliki orang itu? Kenapa orang itu berbuat itu? Kenapa semuanya begitu rumit dan tidak terpecahkan?

No comments: