Monday, July 22, 2013

Outta Here

Since I just lost my diary book, I couldn't find other places to share my insecurities, fear, or just random or general stuffs. I feel sorry for myself, but mostly for my blogs, for I will be busy posting transitions of my life, as a side effect of losing someone that used to be huge part of your life agenda. 

What woke me up tonight is no big deal, just another tendencies of me owning too much works (worst they are instilled even in the deepest part of my unconscious). What kept me awake is unknown, though. Every thing I do basically worries me much. Despite the fact that I know I shouldn't feel so, I couldn't help but think of them, which caused me trouble sleeping.

Oh, why do I keep on sharing trashes? I got to get some other lives!!! Please. Please. Bring me outta here!!!



Hard

It might be so cliche, but I have been crying every time I am alone. Perhaps not because we are not together, but because we loved each other deeply and cared much about one another, but we simply can't fight our egos. It really hurts. 

If he hadn't been that rude. 

What is love anyway? Why can't love conquer all? Why does it hurt me badly? 

Of all the things I have done, why being so hard on me?

AADSAJFHERBOVCSFGK

Linier. Mungkin kata itu tidak pernah ada di dalam kamusku. Bergejolak. Itu lebih tepat mendeskripsikan dinamika hidupku yang penuh drama. Aneh, memang. Mau tidak mau, aku harus mengakui bahwa di dalam pembuluh darahku mengalir sebuah teka-teki, yang menginginkan keterombang-ambingan itu. Aku tidak tahu apakah itu karena bawaan OCD (obssesive-compulsive disorder)-ku, atau karena I am simply a drama-queen, tapi sekarang semuanya benar-benar memuncak menghancurkan aku. 

Sulit rasanya menterjemahkan semua komplikasi dan kerumitan di kepala ke dalam kata-kata yang dapat dicerna. Rasanya, aku ingin menumpahkan semua di meja dan berharap akan ada seseorang yang datang menyusunnya. Mudah dimengerti kalau aku memang lebih mudah berceloteh dibandingkan menuliskan perasaan, karena nyatanya aku sendiri kesulitan memetakan persoalan di kepalaku.

Bahkan kalimat-kalimat di atas hanyalah sampah yang kurapikan untuk dapat merunutkan apa yang sebenarnya ingin aku ucap di sini. Jelas sudah ketidakmampuanku mengurai masalah. 

***

Aku selalu merasa hidupku hancur. Terlepas dari semua kesempatan dan keistimewaan yang aku miliki sebagai seorang Gadis, aku merasa hancur. Banyak orang memuji dan merasa takjub dengan hidup yang kumiliki. Tidak ada kesulitan tertentu dalam bidang akademis, aku punya keluarga yang lengkap, dengan keadaan finansial yang berkecukupan, manajemen waktu yang baik, dan kesempatan yang begitu melimpah untuk berbuat banyak hal di tempat aku tinggal. 

Yang membuatku sulit sesungguhnya adalah kerasnya kepalaku, dan kuatnya niatku untuk menjadikan segalanya sempurna. Aku gila kontrol. Sebagian orang menyebutnya, control freak. Aku ingin mengatur segala sesuatunya, aku butuh kepastian, dan aku ingin segala sesuatunya sempurna. Alhasil, di sinilah aku sekarang. 

Aku marah dengan dunia, yang dibentuk oleh banyak sistem yang tidak adil. Dunia yang begitu menghakimi, dan semuanya dinilai dengan hitam atau putih. Aku tidak suka pandangan bahwa kita harus hormat kepada orang yang lebih tua, karena buatku, meminjam kata-kata seorang teman, respek adalah sesuatu yang universal. Respek tidak memandang bulu. Tidak ras, tidak umur, tidak suku, ataupun jabatan, kelas, apapun itu. Kita, manusia, pada dasarnya harus hidup dengan saling menghormati. Itu saja. Siapapun itu, berhak mendapatkan respek dari siapapun. 

Alasan itu yang membuatku secara acak:
1. Membenci birokrasi yang korup.
2. Keluar dari rumah orang tuaku. 

Hmmm, tidak jelas apakah sebenarnya semua itu berhubungan atau tidak. Tapi, well, birokrasi yang korup memperlihatkan sistem yang begitu bertele-tele tapi di belakang menggerogoti kliennya, yaitu masyarakat. Respek jelas tidak ada di situ. Kalau birkorasi yang korup itu punya rasa hormat terhadap masyarakat, tentu namanya tidak lagi disertai embel-embel korup. 

Lantas apa hubungannya dengan keluar dari rumah orang tua? Sesederhana alasan kenapa seorang perempuan yang mengalami kekerasan rumah tangga harus melapor pada polisi. Well, aku harap Anda mengerti. 


***

Kemarahanku pada dunia membuatku meletup-letup. Aku pribadi penuh emosi, dan terlalu sering tidak mampu menahan ataupun mengontrolnya. Aku mungkin gila mengontrol hal lain, tapi bukan emosiku sendiri. Itu juga seringkali membawaku pada sekian masalah. Sekarang, setelah aku pelajari lebih lanjut, itu membuatku jadi pribadi yang intoleran. Aku sulit menempatkan diriku di pihak orang lain, dan membuatku jadi amat sangat menyebalkan. 

Ya, aku benci diriku sendiri. Terlalu banyak menganalisis kekurangan diri sendiri, dan berfokus pada kekurangan itu membuatku terlalu mudah menjadi skeptis, bahkan terhadap diriku sendiri. Orang pun mulai menghakimiku dengan label "Dasar, susah bersyukur...", dsb. Padahal, jika ditelaah secara rasional, aku hanya terpaku pada kesempurnaan, sehingga aku lebih banyak berfokus pada apa yang kurang, bukan apa yang telah dilakukan. 

Di satu sisi tentu ada baiknya, aku lebih banyak melihat kekuranganku dibandingkan kekurangan orang. Tapi di sisi lain juga banyak buruknya. Aku jadi sulit bersyukur dan aku memandang rendah diriku sendiri. 

***

Untuk mempersingkat cerita, dengan semua naik-turunnya hidupku, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang kupikir akan bersamaku selamanya. Layaknya roman-roman picisan yang kubaca kala aku masih remaja, aku berpikir dia adalah laki-laki yang tepat, yang bisa memberikan segala yang kubutuhkan. 

Maklum, sejak kecil aku cuma bermimpi mempersiapkan hari pernikahanku, jadi ketika aku bertemu dengan laki-laki yang siap menuju jenjang pernikahan lahir batin, aku pun tidak mampu mengelak dari bunga-bunga mimpi tentang hari besar itu. Aku, yang sejak sekolah menengah sudah menyusun detil-detil kecil hari pernikahan pun semakin gencar menyusun perencanaan dengan skala lebih masif. 

Tetapi aku lupa pada fakta bahwa manusia bukanlah makhluk sederhana. Aku lupa bahwa terlalu banyak dinamika kehidupan yang membentuk karakter seseorang, dan untuk menuju sebuah pernikahan, ada terlalu banyak aspek kepribadian seseorang yang perlu ditelaah lebih dalam, disusuri, dan dipahami agar tercipta harmoni. 

Kami terlanjur terlena dalam asmara, dalam perasaan yang sesungguhnya tidak bisa membawa kami kemana-mana. Karena ada terlalu banyak pertengkaran, perselisihan, dan tabrakan-tabrakan yang tidak bisa dihindari karena apa yang kami bawa sejak mula. Tidak ada rasa saling percaya, dan tidak ada kerjasama. Yang ada hanyalah egoisme beringas semata. 

Jadi, meskipun ada rasa cinta, hubungan kami diwarnai terlalu banyak duka, yang aku pun tidak tahu lagi bentuknya. Semua saking banyaknya.

Kenapa ini jadi masalah, kemudian? Karena pada akhirnya aku terjebak dalam buaian-buaian keindahan pernikahan, keindahan hidup bersama, yang sesungguhnya tidak pernah ada. Karena pada dasarnya semua itu hanya imajinasi, yang tidak mampu terjalin secara nyata karena tidak ada usaha konkret yang menyusunnya. 

***

Aku merasa hancur, dihancurkan oleh makhluk bernama laki-laki. Tubuhku dan batinku sama leburnya. Aku tidak tahu siapa dan apa yang bisa dipercaya dan dipegang di dunia ini. Menurut sisi religiusku, tentu itu Sang Pencipta. Tapi aku juga butuh melihat manusia. Aku butuh menggapai sebuah kenyataan. Realitas kehidupan. 

Harapan? Aku tidak kenal lagi. Terlalu perih rasanya dikecewakan berulang-ulang, oleh orang lain dan diri sendiri. Hei, aku tidak pernah bilang diriku yang paling benar. Aku tahu aku berbuat salah juga di sini. Tapi kenapa harus aku? Kenapa aku tidak boleh menjahit mimpiku dengan orang yang tepat di usia ini?

Kenapa aku tidak boleh memiliki orang itu? Kenapa orang itu berbuat itu? Kenapa semuanya begitu rumit dan tidak terpecahkan?

Hopefully Hopeful

We have been through this several times already. Honestly, I don't know what's coming next. I just know that it needs to be over, whatever it takes. I might be the stupidest person on planet earth for wanting what's wrong, but I have this huge feeling I couldn't just cut and throw away. So hopefully, it will all be over soon. Hopefully, I will have a new energy to start every thing over.

Bingung

'What is going on with me?' perhaps hits the top of my most-asked question lists. A bunch of unexpected things happened just in two weeks time: the fight with my dad, my abrupt decision to get my own place, the interaction between me and him, my new office dynamics, thesis drama, and so many other things. How did those thing affect me as a human being?

I wouldn't say plenty. I have changed over time, and I was fine. I could still adapt and swim with the current. Yet, one of my friends just stroke me with one golden question: what is going on with me. Yes, what is going on with Gadis. She saw how I struggled with my mood swing, and it wasn't okay, at least according to the way she delivered it.

Honestly, I don't even know what is going on. I feel trapped in between the urge to be thankful, to surrender every single dot of my life to God, and to face the toughness in reality. Call me a drug addict, but I have a plateful of medicine over my desk, due to my immunity. Ask me why, I wouldn't be able to answer why I got symptoms of allergy. To what, no answer, either.

I was weak, and lonely. But I finally moved on from thesis migraine, family conflicts, even got a new employment that is sufficient to cover my living cost. So, should I be thankful for the condition? I think so. But, may I express my dislikes for I got infected by anonymous allergic symptoms? I really don't know.  

Saturday, July 13, 2013

Outside

Am waiting outside the arrival gate, with sappy eyes, and a paralyzed feeling. My body feels sick. Perhaps, my brain does too. 

I totally have no idea what is going to happen in the next few minutes. Nonetheless, I want it to determine yhe future of our togetherness. 

Hold no judgment, but I just want the best, whatever may come as the results.

Oh God. Please help.

Thursday, July 11, 2013

Open Wounds

I just got through one hell of stressful night. I would admit that I had experienced much worse nights, but I felt powerless last night. Tried to pray, ended up crying.

Does anybody know how it feels when you really love someone but you both just  can't be together?

That weariness dominated my overall feelings, although there were some other problems I thought of. 

I feel lonely, although I know I shouldn't feel that way. I have a lot of friends surrounding me with warmth, and most of all, I got my best friend, the One up above.

Still, nonetheless, I can't get those visualization off my mind. There were just burdening me and lowering down my stress tolerance even worse. 

How could you love someone but think to runaway at the same thing? How could two people fall deeply for one another yet not in tuned?

Why?