Thursday, December 1, 2011

Gadis Pantai

Kekuasaan selalu menyilaukan banyak mata, dan tanpa basa-basi mendorong manusia berjibaku memperebutkannya pula. Betapa hebat dan megahnya kekuasaan itu digambarkan Pramoedya Ananta Toer di jaman kala priyayi-priyayi Jawa memilikinya. Mereka, yang berkedudukan sebagai pembesar, berkuasa untuk mengangkat siapapun menjadi istrinya, dan menceraikannya ketika tak lagi meminati mereka. Mereka (yang telah menikahi perempuan-perempuan tadi) berkuasa mengakui diri mereka sebagai perjaka selama belum beristrikan wanita bangsawan yang setidaknya setara kedudukannya. Kekuasaan yang tidak sedikit pun peka dengan konsep kemanusiaan. Nyatanya, suka ataupun tidak, itulah fakta yang harus ditelan sahaya-sahaya Jawa di waktu silam. Hidup mereka tak lebih dari sekedar budak yang bisa ditendang kapan saja. Nantinya pun, perempuan yang diangkat jadi istri takkan lebih nasibnya daripada sekadar barang rongsok yang ditinggalkan. Itulah nasib Gadis Pantai, sang pelaku utama dalam novel yang bertajuk namanya sendiri.

Kedua orang tuanya menyerahkan Sang Gadis pada usia empat belas tahun, rentang usia di mana tak terbersit keinginan di hatinya yang selama ini bebas laksana ikan di lautan untuk menghambakan dirinya pada seorang Bendoro. Sebelumnya merasa terjebak dan tak kuasa menahan hati yang ingin pulang ke laut tempatnya bernaung bersama Emak Bapaknya, perempuan pun tak berdaya menahan asa. Kecemburuan pertanda cinta merasuki dirinya, membuatnya mengasihi Sang Bendoro. Meski begitu, bayi perempuan yang dilahirkannya tak mampu membuat pembesar senang, sehingga diusirnyalah Gadis Pantai dari kerajaannya, tanpa boleh membawa anak satu-satunya. Merasa tak mampu kembali ke kampung halamannya, Sang Gadis pun bertolak ke Blora dan hilang seakan tak pernah muncul ke dunia.

Cerita yang tragis ini membuat hatiku ingin menjerit melihat ketidakadilan selalu tercipta akibat kekuasaan yang semena-mena. Apakah Sang Bendoro bukan manusia karena tega melihat ibu dipisahkan dari anaknya? Apakah iya rasa empati belum ada pada waktu itu? Dan apa pula yang dipikirkan orang tua Gadis Pantai ketika menyerahkan anaknya kepada Pembesar? Apakah mereka sebegitu hausnya akan kekuasaan? Atau karena mereka terlalu mencintai anaknya dan tak rela anaknya besar sebagai nelayan layaknya mereka?

Kurasa ada terlalu banyak hal yang tidak bisa kuterima. Aku tidak dapat menangkap alasan mengapa sebuah tradisi melanggengkan sesuatu yang tidak berperi-kemanusiaan macam itu. Keji dan biadab ketika laki-laki, atau siapapun itu, diberikan kesewenangan untuk berbuat apa yang ia mau dan menjadikan perempuan sebagai hambanya di rumah, berkutat hanya dengan urusan domestik tanpa boleh banyak bertanya. Ketika sang lelaki pergi, itu pasti adalah untuk urusan kerja, sehingga tak perlu usaha lebih untuk bertanya, selain karena hal itu dianggap lancang. Satu-satunya hal yang boleh dikerjakan hanyalah menurut perintah suaminya, sang empunya kuasa, sekalipun perintah itu berarti meninggalkan anaknya tanpa masa depan yang pasti. Apakah ini adil? Mengapa pembedaan itu ada? Bukankah itu tidak peka, bahkan terhadap hubungan suami-istri sekalipun? Namun itu nyata adanya, dan begitulah yang harus terjadi. Dan itulah yang diperangi manusia-manusia modern macam aku ini: persamaan derajat. Bukan yang radikal, hanya berusaha menuntut hak yang sama, termasuk pendidikan.

Untungnya, dunia modern ini ada baiknya, walaupun banyak juga dikritisi orang. Setidaknya ada usaha untuk menyamakan derajat kaum wanita dan pria sehingga aku bisa menyuarakan pendapatku, tidak diam, membungkuk sampai beberapa radius meter dan baru berdiri setelahnya hanya untuk berpamit kepada lelaki. Tentunya, itu ketidakadilan yang tak mampu kuterima. Sampai kapanpun tidak. Siapapun, tidak diciptakan untuk menjadi budak siapapun. Kita semua adalah manusia merdeka. Walaupun aku juga percaya bahwa di dunia ini selalu ada yang miskin dan kaya, baik dan jahat, cantik dan buruk rupa, tapi sekiranya kita adalah manusia merdeka yang berhak bicara.

Pramoedya pun menyemangati dengan kata-katanya yang kucatat demikian.

“Kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pangeran dan para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya baru sampai melawan para raja, para pangeran, dan para bupati. Satu turunan tidak bakalan selesai, Man. Kalau para raja, pangeran, dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan pada Belanda. Entah berapa turunan lagi. Tapi kerja itu musti dimulai.”

Kita tidak pernah tahu berapa lama kita butuhkan untuk melawan kekuasaaan yang sewenang-wenang. Tapi kita tidak lagi bisa menunggu. Harapan pasti ada, karenanya usaha harus berjalan.

No comments: