Thursday, December 1, 2011

Anak Semua Bangsa

Ini adalah sisi lain dari review terdahulu yang kubuat untuk Anak Semua Bangsa: review yang sempat kubuat, menghilang, dan kini ditemukan kembali.


Dulu suatu bangsa bisa hidup aman di tengah-tengah padang pasir atau hutan. Sekarang tidak. Ilmu pengetahuan modern mengusik siapa saja dari keamanan dan kedamaiannya. Juga manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai individu tidak lagi bisa merasa aman. Dia dikejar-kejar selalu, karena ilmu pengetahuan modern memberikan inspirasi dan nafsu untuk menguasai: alam dan manusia sekaligus. Tak ada kekuatan lain yang bisa menghentikan nafsu berkuasa ini kecuali ilmu-pengetahua nitu sendiri yang lebih unggul, di tangan manusia yang lebih berbudi….”

Untuk kedua kalinya, Pramoedya Ananta Toer berhasil merasuki arwahku melalui Anak Semua Bangsa, di mana beliau memutarbalikkan semua pemikiran yang kusimpan selama ini, lewat cerita Minke dan perjuangannya sebagai pribumi di Hindia Belanda.

Pram memang mengakui pentingnya ilmu pengetahuan sebagai titik tolak kemajuan sebuah bangsa, bahkan kemerdekaan suatu negara pun ditentukan karena kuasa atas ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain, beliau menunjukkan betapa sia-sia ketika kita sibuk membanggakan bangsa Eropa sebagai sang empunya peradaban, namun tak mengenal bangsa sendiri. Tentunya, kemerdekaan menjadi mimpi semu yang tak mungkin dapat direalisasikan. Itulah mengapa, Pram mencatat, ”Maka jangan harapkan pendidikan modern akan diberikan di negeri-negeri jajahan seperti negeri ini. Hanya bangsa jajahan sendiri yang tahu kebutuhan negeri dan bangsanya sendiri. Negeri penjajah hanya akan menghisap madu bumi dan tenaga bangsa jajahannya. Dibolak-balik akhirnya kaum terpelajar bangsa jajahan sendiri yang perlu tahu kewajibannya.”

Sayangnya, ilmu pengetahuan yang didapat dari Eropa, maupun pengenalan akan bangsa sendiri takkan cukup menentang musuh yang satu ini. Musuh yang telah menjelma menjadi banyak bentuk, bahkan menyamar dalam karakter yang baik seperti Politik Etis Van Deventer. Ya, musuh itu adalah modal, sesuatu yang mujarad, abstrak, punya kekuasaan gaib atas benda-benda nyata. Semua yang menyebabkan segala yang berpencaran berkumpul, yang berkumpul berpencaran, yang cair jadi beku, yang beku dicairkan. Segala berubah bentuk dalam genggamannya. Yang basah dia bikin kering yang kering jadi basah. Dewa baru yang mengepal seluruh dunia. Membosankan memang, tapi nyata. Produksi, dagang, tetesan keringat, angkutan, hubungan, saluran – dan tak ada satu orang pun dapat bebas dari kekuasaan, pengaruh, dan perintahnya. “Dan, Tuan Minke, cara berpikir, cita-cita, dibenarkan atau tidak, direstui atau tidak olehnya juga.”

Bahkan ternyata sejak tahun 1980, di mana Pram menorehkan karyanya ini di atas kertas, kekuatan modal telah membelah dunia dan membawa kaum kolonial menjelajah bumi – merasuki nuraninya untuk membuka wawasan, untuk mengetahui dan membongkar semua itu dalam tulisan. Mengagumkan, apa yang ia lakukan. Benar-benar membuka mataku yang selama ini gelap karena miskin ilmu pengetahuan.

Dan akhirnya, buku ini menekankan pentingnya penghargaan bagi siapapun juga, apapun latar belakangnya – apalagi warna kulitnya, seperti yang dituliskannya, “Dengan rendahhati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.”



Catatan: Anak Semua Bangsa adalah buku kedua dari tetralogi Buru, lanjutan dari Bumi Manusia yang dulu sempat kutulis resensinya di sini.

No comments: