Saturday, July 30, 2011

let me think twice

I really feel that everybody's changing. So is communication landscape. And so are our social norms and principles. So are our stigma and perception.

Due to many things, definitely, globalization is absolutely.

Kalo dulu kita semua berpikir bahwa setelah lulus kuliah, dapetin kerja yang layak, terus menikah dan punya anak, sekarang mungkin tidak.
Menikah, apalagi punya anak, sekarang jadi pilihan. Atau bahkan jadi momok yang menakutkan.
Saya tidak bilang kalau orang-orang jaman dulu pasti menikah dan punya anak, tapi kebanyakan ya begitu. Jujur, waktu saya masih kecil, ya begitulah persepsi saya akan masa depan.
Tetapi setelah saya beranjak dewasa, persepsi saya berubah. Benar-benar berubah.
Saya melihat beberapa teman saya yang memang memutuskan untuk tidak menikah. Dan tidak punya anak. Dan saya pun lama-lama berpikir, bahwa menikah bukanlah melulu perihal hidup bahagia ala fairy tale, tapi itu sebuah komitmen yang membutuhkan kekuatan besar untuk bertahan menghadapi cobaan yang ada. Menikah bukan hanya sekadar tinggal bersama, tapi juga menyatukan dua hati dari dua kutub yang berbeda, tapi punya tujuan yang sama. Saya ngerasain betul gimana kerja di kantor yang untuk menyelesaikan satu tugas yang sama, semua orang punya caranya masing-masing dan mereka pastinya gamau dipaksa untuk menyelesaikannya dengan cara kita. Begitu juga kehidupan pernikahan. Yang bisa kita lakukan sebagai pasangan ya berusaha untuk saling mengerti, instead of forcing somebody to do as we say. Tapi, even before we say yes to long-life commitment, we need to find someone that we can rely on for the rest of our lives, which is not easy at all. Dan itulah tantangan yang sedang saya hadapi di tahapan kehidupan ini. I am not saying that I am looking for it now, but I don't deny if I am looking for that quality as early as I can, tentunya supaya ga salah pilih dan menyesal pada akhirnya. Dan saya, yang dulunya tergila-gila untuk menikah karena selalu membayangkan kehidupan dongeng dan hari pernikahan yang mewah, sekarang stick pada prinsip bahwa tidak perlu memaksa menikah jika memang tidak ada orang yang pantas dan sepadang untuk kita. Saya tidak berbicara mengenai latar belakang pendidikan atau ekonomi atau apapun itu. Pantas dan sepadan di sini seyogyanya dilihat dari kepribadiannya. Apakah orang tersebut memang mampu menghadapi saya, mau menerima saya apa adanya, in good or bad times, till death do us part. Dan kalau memang tidak ada orang yang pantas, buat apa dipaksakan? Secara hidup udah susah, dan ga perlu kita nambahin susahnya.

Disinilah saya merasa bahwa nilai-nilai yang saya anut sejak kecil sudah mulai bergeser. Dan saya gatau apakah saya ini korban globalisasi dan modernisasi karena berpikir demikian, atau kah ini berarti saya beranjak dewasa?

Siapa sih sekarang yang gatau kalau impian saya terdahulu adalah untuk menikah dan bahagia? It was my biggest purpose in life.
But now? Let me think twice.

No comments: