Monday, April 1, 2013

Aku Sadar

Aku sadar sejak awal bahwa aku butuh pembimbing. Bahwa aku, dengan emosi dan semangatku yang meletup-letup, persis seperti percikan kembang api, kadang membuat aku sulit sendiri. Ketidakstabilan itu memang identik dengan ketidakdewasaan. Dan aku mengakui bahwa aku memang belum sama sekali dewasa. Aku selalu mudah diombang-ambingkan berbagai "suara", seolah aku tidak pernah punya pendirian, atau nilai-nilai yang menjadi pondasi di dalam. Aku jadi seolah, tidak punya standar, dan berubah setiap kali aku melabuhkan hidupku di satu orang.

Aku sadar aku butuh patron yang tepat, dan harusnya Yesus adalah pedomanku. Bukan manusia, dan bukan kamu. Walaupun aku mengakui, kamu seperti Dia bagiku, karena kualitas dan prinsip yang kamu miliki.


Tapi kemudian aku menggali dan melihat lagi, apa benar aku mengikut kamu dan menetapkan standar sesuai dengan pakemmu? Apa benar?


Selalu ada pergolakan di situ. Aku melihat diriku sebagai seseorang yang sesungguhnya mandiri, kuat, namun tetap rendah diri. Bagimu, itu tidak ada bedanya dengan arogansi. Padahal, bagiku dan sebagian orang, itu cara bertahan hidup dengan menggunakan prinsip sendiri.


Prinsipku sudah kamu patahkan seketika kamu masuk dalam hidupku. Kamu, yang berbeda 180 derajat mengoyakkan semua yang pernah kubangun. Segala pengertian tentang dunia dan isinya. Di situlah aku merasa kau seperti Dia.


Kamu tidak mengenalkan aku pada kesombongan. Kamu mengenalkan aku pada bagaimana hidup benar. Hidup yang menanggalkan atribut dan berfokus pada Tuhan.


Kamu tidak mengenalkan aku pada kesuksesan. Kamu mengenalkan aku pada bagaimana menggali potensi dan berfokus mendalaminya.


Kamu, buatku, seperti Dia. Kamu minta aku menyangkal diri, dan mengikut kamu.

Aku setuju, pada awalnya. Tapi kini aku berontak. Bahwasanya pemberontakkan itu ingin kulakukan sejak dulu, aku tidak akan menyangkalnya. Karena mengikut Dia tidak pernah mudah bagi manusia.


Aku berontak karena aku tiada sabar. Aku jengah dengan perintah, dengan peraturan, jengah dengan kekangan, jengah dengan segala keharusan untuk terus meringkuk dalam penjara yang kamu bangun. Bukan salahmu. Tentu itu salahku.


Salahku menganggap kamu sama seperti Dia. Karena aku tidak pernah tahu.


Aku juga tidak akan pernah tahu apakah jalan yang kulakukan itu benar. Karena aku mulai tidak bisa membedakan mana suara hati dan suara dari rasio. Aku hanya bisa bertekun dalam doa, dan menjalani semuanya.


Sepertinya, aku akan kembali dengan nilai-nilaiku yang dulu. Yang meyakini bahwa tidak ada satu keputusan pun yang salah. Karena hidup adalah soal menjalani konsekuensi. Berat ataupun ringan. Aku perlu jadi kuat. Mungkin tanpa bimbinganmu.


Aku tidak akan pernah tahu sampai aku menjalaninya.


Jika ini adalah perpisahan, maka biarlah aku mengucapkan terima kasih yang terdalam telah menjadi bagian hidup yang begitu tidak tergantikan, kekasih yang panjang sabar dan penuh rasa sayang. Terima kasih untuk bimbingan yang tak bisa diukur dengan apapun, tidak terkecuali uang.


Terima kasih tentunya tidak menggantikan kata maaf, yang aku mohonkan dari hati, untuk pembangkangan tolol yang begini, untuk kekecewaan yang membekas di hati, dan untuk menjadi seorang perempuan dengan masa lalu yang tidak bisa dikuliti.


Sayangku hanya untuk kamu, begitu juga cintaku.

Sunday, March 31, 2013

Resistance

Sometimes, I am so confused. Why are humans so resistant to changes? Real changes. Why do they stay in their comfort zones? Like me, I hardly change, even for good cause. What kind of human is that? We are privileged because of our ability to take rational choices. If it was for good cause, why would we still be that resistant towards certain possible benefits?


Saturday, March 30, 2013

Do I deserve this?

I don't really know what to feel. Somehow I think every thing that happened to me was unfair. Yet, another part of me senses that it is what I deserve for each wrongdoing. I want to escape from all these. I am suffocating, I can't breathe. 

Tuesday, March 19, 2013

Hairdresser

Feeling so stressed out, I suddenly decided to cut my hair short, and so I went to the nearest beauty salon. It was a crazy decision I made so quick. When it was done, I was quite shock seeing the hairdresser left just a little hair gliding around my head. 

But, as most of people would do, I just sighed and tried to feel strong knowing that my long hair was gone. I tried to convince myself that it would soon grow and there's no need to be panicking. So I shifted my mind to something else, the hairdresser. I began to think how she had been witnessing big moments when people finally saw what she had worked on. Big moments, because, like myself, I did it out of stress. Some might did out of love, or commitment, or overcoming fear, and the list might go on. 

Having your hair cut, or colored, permed, and else is actually a life-changing moment. Some people did it because they felt dissatisfied with their own selves, or they wanted to become somebody else, these hairdressers would find out when they see people's eyes, to know if they feel happy with the new look or not. That, without notice, would determine if she'd be okay or not. 

Indeed, it is a big moment for both. It's no simple job like people used to say. Just like a doctor, they witnessed some amazing times. At least in my humble opinion. 

Monday, March 18, 2013

Rest in Peace

The death of one Indonesian comedian, Tata Dado, really made me reflect. The death itself was due to a complication he'd been suffering since a year ago, when he was hit by stroke the first time because of diabetes and high blood pressure. As if it weren't enough, he also had lung disfunction that made him struggled to do as simple as eat or communicate. 

I said to myself (who also had too much cholesterol in such early age), that I don't want to die the same way he did. Not that I don't respect him, but I don't want to suffer that much. I seriously do not have the courage seeing my closest people aching when they take care of me. 

Prohibiting myself from certain food is definitely one way of doing so. I have succeeded two months ago on my effort lowering the cholesterol count for 20 points. However, I stopped doing it just because I felt tired. In some other ways, my special guy also kept on telling me how we should appreciate life, by eating whatever served in front of us that time, how we should believe that everything served would only give benefits and not the other way around. 

So yes, I stopped. But my goosebumps were hitting on me again when I read the news and watched the video of the comedian. Would your faith save your ass from stroke? Really?

Well, I am not a great role model whom people can look up too in terms of faith. I tend to be very shallow in it and yes I am ashamed of it. It is always a big dilemma for people like me, or people in general, to follow the heart or the rational brain. My heart tells me that if I am faithful, I truly believe in the moral principle of goodness, I would end up find. Nevertheless, my brain tells me that if I ever eat those "stuffs" again, which practically what I am doing now, I would get near his experience, which wasn't okay at all. 

It's a classic dilemma, indeed. The neutral would say, "Come on, watch your food and follow your heart. That's all you need to do. There's no black and white." Hmmmmm, easy to say, but the crossroads are there. The questions remained.

Nonetheless, it is so much better to wish that he would be in a place where he could feel no pain. Rest in peace, Mr. Tata Dado. 

Wednesday, March 13, 2013

Menengok Masa Lalu

Aku tahu kini, bahwa hari-hari yang kita lewati kini berbeda dari apa yang kita miliki dulu. Kasih terus bertumbuh, dan kita tidak lagi berjalan di tempat. 

Sunday, March 10, 2013

Falling

Had I not met you, life would have been different. I am wondering how different it would've been. Am just certain I like it better when you are around.