Tuesday, November 15, 2011

Anak Semua Bangsa


Sekali lagi Pramoedya Ananta Toer mengingatkan aku mengenai bangsa kolonial, yang selalu kuanggap sebagai empunya peradaban, sejatinya tetaplah iblis yang menjajah dan merampas apa yang bukan miliknya. Setidaknya, itulah yang dirasakan Minke dan Nyai Ontosoroh (mertuanya) setelah istrinya – yang dikirim pengadilan putih ke Belanda karena hukum yang semena-mena itu – meninggal dan perusahaan milik Nyai hendak juga dirampas oleh penggugat yang sama. Seumur hidupnya, ketidakberdayaannya sebagai pribumi telah ditindas oleh kebiadaban manusia Eropa dan politik etisnya, yang justru tak lain dan tak bukan diperuntukkan untuk mengisi kasnya sendiri, tak seperti sejarah indah yang kupercaya selama ini.

Maka jangan harapkan pendidikan modern akan diberikan di negeri-negeri jajahan seperti negeri ini. Hanya bangsa jajahan sendiri yang tahu kebutuhan negeri dan bangsanya sendiri. Negeri penjajah hanya akan menghisap madu bumi dan tenaga bangsa jajahannya. Dibolak-balik akhirnya kaum terpelajar bangsa jajahan sendiri yang perlu tahu kewajibannya.”

Itulah mengapa Nyai selalu mendorong Minke untuk menulis dalam bahasa negerinya, bahasa Melayu, dan bukan Belanda karena beliau percaya bahwa segala ilmu tidak ada artinya jika tak mengenal bangsa sendiri. “Belajar bahasa-bahasa Eropa bukan berarti kau harus tidak bicara dengan bangsamu dan hanya bicara pada orang-orang Eropa.”

Kekagumanku pada kalimat demi kalimat membius yang dilontarkannya memang tiada tara. Aku betul-betul merasakan semangat yang ingin disampaikan Pram agar jangan kita mengagung-agungkan Eropa semata, sebab pengetahuan datang tanpa memandang latar belakang, ras sekalipun. Sejak di awal cerita beliau memaparkan segala pelajaran yang diambilnya dari Khouw Ah Soe, soerang aktivis pergerakan Tionghoa, keluarga De La Croix dari Belanda, maupun dari sang mertua yang tak mengenyam pendidikan tinggi. “Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.”

Catatan: Aku sadar bahwa tulisan ini jauh dari indah, apalagi sempurna. Itu semua tak lebih karena aku telah menyelesaikannya dan tak sengaja menghapusnya. Aku hanya berharap lewat tulisan ini aku bisa berbagi sedikit minatku yang besar ketika membaca Semua Anak Bangsa, karya Pramoedya Ananta Toer. Dan seperti biasa, terlalu banyak yang ingin kubagi dalam ruang sempit ini, namun inilah sebagian untaian katanya yang begitu menyegarkan.



No comments: