Thursday, June 7, 2012

Manjali dan Cakrabirawa


Adalah kekaguman yang tidak pernah berhenti; perasaan yang selalu saya rasakan seusai membaca karya-karya Ayu Utami. Entah, saya tidak tahu bahwa seseorang dapat begitu mahirnya memainkan kata-kata untuk merasuki pikiran manusia, menggunakan kata-kata sebagai senjata untuk menumpahkan ketidaksukaannya kepada sebuah rezim, mengaduk kata-kata untuk mengawinkan sejarah, pewayangan, dirinya, dan sastra – dan tak lupa pemahamannya atas spiritualitas. Kekaguman yang juga tiada pernah mati.

Tetapi lebih dari sekadar ahli kata-kata, penulis ini. Kemahirannya meneliti, mengobservasi, menemukan benang merah atas segala hal yang banyak dilupakan manusia modern, atau justru ditinggalkan, itulah yang menjadi keahliannya. Keahlian yang kemudian mencetaknya sebagai penulis andal.

Di sinilah Ayu juga mencoba membangunkan gadis-gadis remaja macam saya untuk tidak hidup bergelimang kenikmatan semata dan puas begitu saja. Dia mencoba menyulut kita semua dengan kenyataan bahwa negeri yang begitu kaya dengan sejarah dan budaya ini ditinggalkan oleh pecundang-pecundang yang tak tahu definisi harta yang sesungguhnya, yang terlalu sibuk dengan segala alasan berkedok rasionalitas.

Ayu tak menentang rasionalitas, sungguh. Hanya saja, “Di jaman modern ini, manusia cenderung terlalu mengunggul-unggulkan rasio sehingga mereka kehilangan kemampuan-kemampuan kreatif sebelumnya. Yaitu, kepekaan yang magis dan mitologis. Kemampuan untuk berhubungan langsung dengan alam. Kemampuan untuk tidak berjarak. Kemampuan untuk membuat dan membaca karya anak-anak. Kemampuan untuk mencipta dan memahami gambar kuna dan relief candi.”

Hidup tidaklah cukup hanya mengenyangkan diri sendiri. Manusia hidup memiliki peran. Itulah sebabnya tidak ada kebetulan yang terlalu banyak. Dan mungkin tidak ada kebetulan. Dan inilah pernyataan yang terus-menerus diulangnya, pun pada Bilangan Fu. Bahwa nyamuk pun punya peran.


Lantas, apa peran saya?

No comments: