Takjub aku pada kemampuan Ayu Utami berimajinasi dan menciptakan benang merah di antara segala hal yang ingin disampaikannya, mulai dari peradaban Jawa, kebudayaan Islam, ajaran Kristiani, hingga “modernisme”, di mana beliau menekankan cara baru memandang dunia dan segala isinya: alam, kepercayaan, serta segala yang metaforis dan spiritual, yaitu dengan spiritualisme kritik – sebuah bentuk perspektif post-modernisme yang tidak melulu memaksakan pemikiran matematis dan rasional akibat munculnya ilmu pengetahuan dan demokrasi ke dalam segala hal, terutama hal-hal yang memang metaforis dan spiritual tadi, lebih tepatnya ketika orang menciptakan matematika dan memaksakan angka nol yang silamnya adalah shunya, menjadi angka nol yang terukur.
Maksudnya itu kutangkap ketika dalam Bilangan Fu, beliau mencoba mengajak pembacanya, yang sebagian besar tentu produk-produk modernitas yang selalu menekankan nilai guna dalam mencari jawaban, atau tujuan, sehingga cenderung meremehkan usaha-usaha orang desa dalam menjalankan hidupnya, di mana mereka melibatkan penyembahan kepada gunung, hutan, dan sekitarnya melalui sesajen. Di mana juga mereka percaya bahwa alam yang mereka tinggali dikuasai oleh roh-roh penguasa yang patut untuk dihormati lewat persembahan mereka itu. Orang kota, yang kebanyakan termakan budaya televisi pun tidak mampu melihat ini dari kaca mata rasional mereka. Oleh karenanya, mereka merasa budaya semacam itu adalah absurd dan sia-sia. Padahal, oleh Parang Jati, salah satu tokoh utama yang diceritakan adalah seorang pencinta alam, kita tak bisa memaksakan pola pikir semacam itu menghakimi segala hal di dunia. Karena toh, usaha-usaha orang desa membuat mereka mencintai alam, membuat mereka menghargai lingkungan tempat mereka tinggal, menyadari bahwa mereka hanya menumpang dan oleh sebabnya tak diperbolehkan merusak apa yang telah dikaruniakan kepada mereka – sesuatu yang tentunya tidak dimiliki kaum modern karena merasa berbasis pada hukum positif, denga hak milik pribadi, dan kebebasan berpikir. Untuknya, Ayu Utami menulis, “Dengan hilangnya rasa takut, hilang pula penghormatan terhadap alam. Dengan adanya kepemilikan pribadi, yang dinyatakan dengan kontrak dan jual-beli, hilangp ula penghormatan atas hak-hak ulayat (hak adat atas tanah beserta isinya)."
Segala tulisannya itu kutangkap sebagai kritik atas kehidupan manusia-manusia zaman sekarang, yang difokuskan pada kepasrahan manusia pada budaya televisi yang membodohi, keserakahannya atas alam, dan ketidakpekaannya pada hal-hal kecil di sekitarnya (aliran kepercayaan sekaligus lingkungan).
Ada satu pesan juga yang terus menerus disampaikannya, yaitu bahwa semua manusia dikirim ke dunia untuk satu tugas mulia, yang bagaimana bentuknya tergantung siapa yang menjalankannya. Buruk ataupun baik rupa, miskin ataupun kaya, semua punya tugas yang harus diemban. Menyelamatkan alam, adalah yang mutlak dan kekal. “Nyamuk, bakteri, dan virus-virus sesungguhnyalah sejenis teroris-teroris halus yang bertujuan luhur mengendalikan jumlah manusia. Jangan tertawa. Aku tak sedang sarkastis, melainkan berkata yang sesungguhnya. Apa kau pikir manusia itu makhluk mulia sehingga pantaslah setiap jengkal tanah bumi ini dipenuhi pijak mereka? Apakah kau pikir itulah kemuliaan?”
Sama seperti bagaimana Pramoedya Ananta Toer mampu membuatkan amat terkesan dengan segala pengetahuan yang disebarkan lewat satu buku, Ayu Utami juga demikian adanya. Rasanya, terlalu banyak yang ingin kubagi di sini, namun waktu tak demikian banyaknya. Namun, yang terpenting adalah pemikirannya yang mencerdaskan dan membukakan mata yang selama ini tertutup oleh budaya instan.