Monday, April 23, 2012
Sendu
Sunday, April 22, 2012
Tertatih
Kartini's Day Lessons
Friday, April 20, 2012
Loner
Wednesday, April 18, 2012
T(w)itit!
Isu seksualitas adalah sesuatu yang tidak pernah ditinggalkan Djenar Maesa Ayu. Justru, isu tersebutlah yang selalu diangkat dalam karya-karya terdahulu hingga yang terbaru. Dengan kekhasan kalimat yang berima sama, dia memadukan protes kerasnya terhadap masa lalu, yang dianggapnya sudah berlalu, tapi sebenarnya menimbulkan pilu.
T(w)itit! bagi saya adalah sebuah otobiografi. Cerita yang sebenarnya disalurkan dari hati. Pengalaman pribadi. Diangkat untuk mengulasnya kembali. Dalam barisan-barisan pemikiran masa kini.
Jauh lebih sulit dicerna, memang. Terutama untuk kapasitas otakku yang lebih sering gamang. Tetapi tulisannya tetap menendang. Membuat rasio kembali berdendang.
Madre
Senyuman ini mungkin tidak akan pudar, bernaung selama-lamanya di wajah, juga di hati. Madre membuatku berbunga-bunga. Setiap lembarnya begitu berharga. Setiap ceritanya begitu menggugah. Seolah aku turut terbang ke angkasa bersama setiap karakternya.
Di sanalah kutemukan permenungan Dee atas hidup dan cinta, yang ditelusurinya lewat berbagai lika-liku yang ada. Dengan bebas dan cerdas dia mengeksploitasi dan menyusuri setiap irama kehidupan yang unik dan tak kalah menarik. Dia lah yang membangkitkan perasaan haru, campur sumringah, tak karuan. Degup jantung seakan terpacu, terbawa bersama alunan melodi cerita dan prosanya.
Karyanya begitu hidup, dekat, dan nyata. Sama seperti sukacita yang ditinggalkannya padaku usai membacanya.
Madre mengutarakan berbagai kisah manusia yang dihinggapi berbagai problematika atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hidup. Hati kita seolah tergelitik untuk mengulang pertanyaan yang sama pada diri. Untuk itulah Dee memperingatkan para pembacanya sebelum memulai perjalanan membaca, “Tidak semua permenungan itu berujung pada jawaban. Seringkali, malah pertanyaan barulah yang lahir. Tak mengapa. Bagi saya, hidup adalah proses bertanya. Jawaban hanyalah persinggahan dinamis yang bisa berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita. Namun, pertanyaan lah yang membuat kita terus maju.”
Filosofi Kopi
Monday, April 16, 2012
Musuh Bernama Perasaan
Begitu hebatnya perasaan bisa mengatur hidup manusia, atau hidupku lebih tepatnya. Keperkasaannya mampu menjatuhkan aku ke dalam lubang terdalam, tetapi juga sanggup mengangkat aku melampaui angkasa luar. Hidupku dipermainkannya. Aku dipermainkannya.
Aku guncang setiap kali dihunus tajam barang setitik saja. Aku rapuh kala ditampar dalam sekerjap mata. Pun mendadak euphoria ketika dipuji barang sekata.
Kebencian itu ada, hasil persetubuhan kepala dengan rasionya. Benci aku pada perasaan ini. Benci pula pada diriku sendiri. Aku dipermalukan olehnya. Aku disudutkan olehnya berkali-kali. Nyata.
Ingin rasanya kulempar jauh-jauh perasaan ini. Tapi apa artinya manusia tanpa perasaan? Apa bedaku dengan binatang? Tapi mengapa terus merongrong tanpa henti? Mencabik-cabik tubuh yang lemah dan terus menancapkan duri?
Perih. Sakit. Pedih. Pahit. Semuanya bercampur aduk mengendalikan diri saat ini.
Kenapa hanya aku yang begini? Kenapa tidak manusia lain? Kenapa tidak laki-laki yang tak berperasaan itu?
Aku ingin berkelit. Berlari jauh mencari perlindungan. Tapi kemana?
Thursday, April 12, 2012
Masa Depan ?
Tidak habis-habis rasanya, pertanyaan-pertanyaan yang muncul setiap harinya. Bukan pertanyaan biasa, tetapi pertanyaan akan tujuan hidup saya yang sebenarnya. Sejujurnya, setiap pagi yang saya lewati dianugerahi secercah harapan untuk menemukan tujuan hidup saya hari itu. Tetapi hari demi hari pun berlalu, meninggalkan sekelumit pemikiran yang bergumpal layaknya benang kusut. Hari berpindah, pertanyaan tetap tinggal pada tempatnya. Bertambah, dan semakin menumpuk saja.
Hari ini pun demikian. Pula hari-hari kemarin. Diskusi-diskusi yang terlewat bersama kekasih semakin merongrong batin dengan pertanyaan-pertanyaan yang kadang terlupa. Belum lagi para sahabat juga menekan saya dengan halus dan tanpa sengaja untuk merenungkan pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Galau, terlalu malah. Ingin rasanya memberontak dan memecahkan segala. Tapi buat apa? Buat jawaban atas sesak di dada? Tampaknya takkan ada hasilnya.
Merenung? Bertapa? Kurangkah permenungan saya selama ini? Kurangkah pergumulan hati saya di waktu yang telah lalu? Mengapa tak saya temukan juga sebuah jalan yang ingin kutuju? Dengan lubang-lubang yang pasti saya lalui dan perbukitan yang pasti saya daki? Meski dengan kepedihan hati yang juga pasti?
Perasaan ini telah merasuki saya. Jauh, sejak dulu. Sejak ratusan, bahkan ribuan hari yang lalu. Saya tidak punya keyakinan. Tidak, atas diri saya sendiri. Saya merasa payah. Apa yang saya punya dan dapat saya banggakan pada orang? Apa yang bisa saya tekuni hingga saya dapat merasa bahagia? Mau dibawa kemana hidup ini? Maukah berlari mengitari lorong yang sama terus-menerus? Maukah mengepakkan sayap ke pegunungan asing? Saya jalan di tempat. Sejak dulu. Tanpa tahu apa dapat saya lakukan bagi bangsa ini.
Idealisme ada. Ide pun tak kalah. Tetapi mengapa tak kunjung juga keyakinan itu datang? Tidak juga keragu-raguan itu hilang? Akankah esok jadi esok yang sama? Sampai kapan?
Akankah angin bertiup dan membisikkan sejumput kata-kata manis? Ataukah bilur perih justru datang lagi dan lagi?