Adalah
kekaguman yang tidak pernah berhenti; perasaan yang selalu saya rasakan seusai
membaca karya-karya Ayu Utami. Entah, saya tidak tahu bahwa seseorang dapat
begitu mahirnya memainkan kata-kata untuk merasuki pikiran manusia, menggunakan
kata-kata sebagai senjata untuk menumpahkan ketidaksukaannya kepada sebuah
rezim, mengaduk kata-kata untuk mengawinkan sejarah, pewayangan, dirinya, dan
sastra – dan tak lupa pemahamannya atas spiritualitas. Kekaguman yang juga
tiada pernah mati.
Tetapi
lebih dari sekadar ahli kata-kata, penulis ini. Kemahirannya meneliti,
mengobservasi, menemukan benang merah atas segala hal yang banyak dilupakan
manusia modern, atau justru ditinggalkan, itulah yang menjadi keahliannya.
Keahlian yang kemudian mencetaknya sebagai penulis andal.
Di
sinilah Ayu juga mencoba membangunkan gadis-gadis remaja macam saya untuk tidak
hidup bergelimang kenikmatan semata dan puas begitu saja. Dia mencoba menyulut
kita semua dengan kenyataan bahwa negeri yang begitu kaya dengan sejarah dan
budaya ini ditinggalkan oleh pecundang-pecundang yang tak tahu definisi harta
yang sesungguhnya, yang terlalu sibuk dengan segala alasan berkedok
rasionalitas.
Ayu
tak menentang rasionalitas, sungguh. Hanya saja, “Di jaman modern ini, manusia
cenderung terlalu mengunggul-unggulkan rasio sehingga mereka kehilangan
kemampuan-kemampuan kreatif sebelumnya. Yaitu, kepekaan yang magis dan
mitologis. Kemampuan untuk berhubungan langsung dengan alam. Kemampuan untuk
tidak berjarak. Kemampuan untuk membuat dan membaca karya anak-anak. Kemampuan
untuk mencipta dan memahami gambar kuna dan relief candi.”
Hidup
tidaklah cukup hanya mengenyangkan diri sendiri. Manusia hidup memiliki peran.
Itulah sebabnya tidak ada kebetulan yang terlalu banyak. Dan mungkin tidak ada
kebetulan. Dan inilah pernyataan yang terus-menerus diulangnya, pun pada
Bilangan Fu. Bahwa nyamuk pun punya peran.
No comments:
Post a Comment