Menjadi pragmatis itu semudah berkata, "Kalau kamu pindah kerja, cari yang gajinya paling besar, karena kalau kamu nggak suka sama bosnya, kamu akan melihat slip gaji dan merasa tenang."
Benarkah begitu? Selama ini saya selalu disibukkan dengan pemikiran-pemikiran tentang jenjang karir (career path), passion, impact, company culture and values, personal development opportunity, dan tentunya pasti benefit. Tapi justru benefit itu bukan prioritas utama dalam agenda. Kenyamanan terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan di satu kantor itu justru yang memegang peranan penting bagi saya. Karena pada akhirnya, kantor adalah sebuah interaksi, tempat di mana kita menghabiskan sebagian besar waktu dalam hidup kita, bertumbuh dan berkembang di dalamnya.
Hanya karena alasan itulah, merasa nyaman dengan nilai-nilai yang ada, dengan budaya yang diterapkan menjadi sangat penting, karena tentunya kita tidak akan mau memilih tempat yang membuat kita merasa gerah, asing, dipermalukan, dianiaya, dsb. Kita ingin tinggal dan bekerja di tempat yang memberikan kenyamanan tertentu --kenyamanan yang cukup untuk merangsang produktivitas dan ide-ide kreatif.
Tapi, lagi-lagi, itu jadi kelemahan saya yang saya sadari akhir-akhir ini. Bahwa idealisme saya mungkin tidak dapat (mungkin tidak akan pernah) diterapkan mentah-mentah di realita. Mungkin tidak ada argumentasi yang melatarbelakanginya, saya hanya merasa terlalu mengawang-awang, abstrak, dan (kadang) sama sekali tidak pragmatis. Saya kurang bisa melihat realitas yang ada, dan terlalu sering berkutat pada pemikiran saya saja, yang sebenarnya kalau dipikir-pikir hanya menyusahkan kepala dan hidup saya sendiri.
Padahal, dengan kesempatan-kesempatan yang datang bergulir, saya dengan mudah pindah kerja. Apalagi kalau mengikuti saran teman seperti yang dikutip di atas. Tapi kenapa saya tidak mudah puas dengan pernyataan itu? Mengapa saya menyibukkan otak saya bertanya-tanya mengenai segala urusan-urusan yang mungkin bagi sekian orang tidak begitu penting?
Bukankah itu hanya merepotkan? Dan bukankah itu hanya menyusahkan? Toh, jawabannya belum saya temukan ketika menjadi seorang idealis? Dan apakah orang dengan modal seperti saya ini pantas jadi idealis?
No comments:
Post a Comment