Bagiku,
hidup itu tidak pernah terasa mudah. Bahkan ketika aku melewati hari-hari yang
menyenangkan, bertemu orang-orang yang begitu peduli dengan diriku,
menghabiskan waktu berbincang akan banyak hal, mengulas banyak permasalahan dan
solusi yang mungkin, atau sekadar mencurahkan isi hati. Aku memang orang yang
begitu rumit.
Ada
banyak waktu di mana aku merasa rumit menjadi orang yang begitu rumit. Ada
terlalu banyak waktu ketika aku hanya menginginkan satu hal: menjadi orang yang
sederhana. Punya pemikiran yang sederhana, punya keinginan yang sederhana, dan
bisa memaknai hidup dengan sederhana. Sayangnya, sekeras apapun aku berusaha
menjadi orang seperti itu, aku justru semakin sulit bergulat dalam dan dengan
diriku sendiri.
Ya,
aku memang aneh. Mungkin yang paling aneh dari kumpulan yang teraneh. Aku tidak
bisa begitu saja tidur bahkan ketika sudah seminggu aku hanya tidur selama 5-6
jam, dan melewati minggu yang begitu panjang. Aku tidak bisa tidak memikirkan
hal-hal kecil tentang diriku dan hubunganku dengan orang-orang terdekatku. Aku
tidak bisa tidak harus menuliskan semua isi kepalaku untuk bisa tidur dengan
tenang, seolah tidak ada hari esok, dan persoalan itu harus diselesaikan
sekarang.
Unik.
Banyak orang baik yang akan memberiku label begitu. Ya, aku hanya bisa
bersyukur bahwa masih ada orang-orang yang peduli denganku dan masih mau
berteman denganku terlepas dari “keunikanku” yang begitu rupa.
Sebenarnya,
semua tulisan ini aku buat hanya dan hanya karena salah satu teman terbaikku,
Meilani, mengatakan satu kalimat yang begitu menohokku hari ini. Satu pesan
yang harus kujalankan kalau aku memang benar-benar ingin memulai hubungan yang
baik dengan laki-laki manapun. Intinya, aku harus bisa mengerem kebiasaanku
untuk secara berlebihan memprioritaskan laki-laki di atas segalanya. Tentunya
dengan memberikan orang tersebut ruang untuk dirinya sendiri. Karena hanya itu
satu-satunya cara mendapatkan orang yang juga sesuai dengan preferensiku –yang
punya dunianya sendiri, di mana dunia itu tentunya tidak berporos padaku.
Jadilah
aku luar biasa bingung dibuatnya. Karena kata-kata itu tidak lain dan tidak
bukan: 100% benar. Ya, aku memang selalu tertarik pada laki-laki yang
misterius, yang punya dunia yang berbeda, yang tidak memfokuskan hidupnya hanya
untuk menyenangkan aku. Tapi, aku harus ingat juga bahwa ketika mereka tidak
memfokuskan hidupnya untukku, aku ada di prioritas kesekian dalam hidupnya,
sehingga aku tidak berhak memaksanya memprioritaskan aku, dengan sederetan
tuntutan-tuntutan lainnya. Aku harus benar-benar bisa belajar untuk
memberikannya ruang, supaya hal buruk yang terjadi padaku di masa lalu tidak
lagi terulang.
Masalahnya,
aku sendiri tidak tahu bagaimana harus memulainya. Mungkin kontrol diri. Tapi
hey, tentu saja itu tidak pernah mudah. Aku orang yang benar-benar sensitif, emotionally driven. Singkat kata, aku
selalu mengandalkan emosi dalam menjalankan segala sesuatunya. Alhasil, ketika
sudah jatuh cinta, aku jadi secara berlebihan memprioritaskan seseorang, dan
menginginkan orang tersebut juga melakukan yang sama, karena di situlah letak
kebahagiaanku. Sayangnya, kembali pada pernyataan sebelumnya, orang-orang yang
kuharapkan tidak pernah memberikan prioritas yang sama, karena mereka punya
tuntutan hidup yang lebih tinggi dariku.
Pastinya,
aku ingin mencari orang yang bisa memberikan prioritas yang sama dibandingkan
yang tidak, tapi tentunya masih dengan spark
yang sama. Tapi apakah itu mungkin? Kurasa sama sekali tidak.
Berubah?
Tidak yakin. Setidaknya belum. Mengubah model itu amatlah susah. Mengubah
pendekatan terhadap masalah sama saja merombak diriku mati-matian.
Jadi
aku lumayan putus asa dibuatnya. Kenapa sih tidak ada orang yang bisa
memberikan keduanya? Kenapa hanya ada orang yang either memprioritaskan aku
tapi tidak menarik, atau bisa membuatku tertarik sedemikian rupa tapi punya
prioritas lain dalam hidup? Andai saja pilihannya tidak serumit ini.
Nah,
di saat-saat seperti inilah aku merasa bahwa I am so full with myself. Padahal,
jika aku zoom out sedikit saja, batang tubuhku sama sekali tidak Nampak di bumi
ini (baca: jika dilihat dari pesawat udara). Apalagi jika dilihat dari pesawat
luar angkasa.
Kadang
manusia memang suka lupa, bahwa di luar sana, ada terlalu banyak hal yang tidak
bisa dikontrol. Kehidupan galaksi, bintang-bintang, bahkan miliaran ikan di
lautan dan burung di udara tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya. Kita terlalu
sering sibuk berpikir bahwa masalah kita begitu rumit sehingga waktu istirahat
pun pantas ditunda karenanya. Kita seolah yakin, hari esok akan tiba pada
saatnya.
Memang,
Tuhan punya janjiNya sendiri. Dan manusia perlu berpasrah sambil berusaha. Tapi
sungguh, aku tidak ingin menjadi terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Dengan
ketololan pemikiran yang sebenarnya kuciptakan sendiri. Di titik inilah aku
perlu belajar berdamai dengan diriku, dengan dunia. Menanamkan dalam otakku
bahwa ada banyak hal di dunia ini yang ada di luar jangkauanku. Jadi ada
saatnya aku perlu berhenti memikirkan dan mengkhawatirkan segalanya secara
berlebihan seperti ini.
Dan
bahwa hidup memang tidak selalu mulus. Jadi aku perlu relaks sedikit. Kalau
hidup semua orang di muka bumi ini sama, apa kata dunia?
No comments:
Post a Comment