Thursday, November 22, 2012

Hati yang Sesungguhnya

Aku sadar sejak lama, bahwa masalahku yang sesungguhnya ada di hati. Bukan secara literal karena aku hepatitis, tapi secara konotatif. Hatiku penuh dengan kecemasan yang tak perlu. Hatiku tidak dapat diombang-ambing. Hatiku tidak dapat menunggu. Hatiku perlu kepastian di segala waktu. Anehnya, hati yang sensitif itu ternyata tidak cukup sensitif untuk merasa. Merasakan pahitnya jadi orang lain. Merasakan sakitnya jadi orang yang dikhianati. Merasakan duka dicampakkan, dan seterusnya. Hati ini terlalu egois dan menutup diri dari dunia luar. Naif, tetapi fokus. 

Fokus ke dirinya yang sekarang aku cintai. Yang jika rindu kepadanya air mata pun tak segan keluar begitu saja. Tapi untuk kemudian merajut asa ke jenjang yang lebih tinggi? Aku banyak kemudian bertanya. 

Mengapa begitu? Apakah berarti kata "cinta" hanyalah semu?

Kurasa tidak. Cinta tetap cinta. Cinta yang membuat diriku bertahan sepenuh daya, walaupun ada waktu ketika putus asa melanda. Cinta yang membuat diriku begitu berbunga-bunga, seperti unggas bebas yang beterbangan mengangkasa. Aku cinta dia. 

Tapi pernikahan adalah satu komitmen buas, karena itu dia dinamakan hidup baru. Sebab semua akan berubah drastis. Sebab auranya begitu mencekam, dan faktanya benar begitu. Tanya saja mereka yang telah terjebak di dalamnya, tanpa pernah berhasil untuk keluar. Atau mereka yang memutuskan berhenti di tengah jalan. Intensitas terkamannya begitu menusuk. 

Tapi justru dia, dan hanya dia. Dia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dia dengan segala yang dia miliki. Dia yang membuka mataku untuk menyadari. Bahwa hatiku butuh siraman rohani. Hatiku butuh Tuhan yang sebenar-benarnya. Bahwa hatiku butuh kehangatan, dan bukan mandi materi. 

Dia yang membukakan jalan untuk melihat masa depan lebih berarti. Dia yang menyediakan ruang untuk mencari jati diri, menjadi manusia yang lebih baik, dan mencari kehangatan. Karena sesungguhnya kehangatan itu yang aku cari selama ini. 

Tidak hanya itu. Dia juga yang menawarkan kehangatan itu. Dari tubuhnya dan dari pikirannya. Itulah yang membuatku takjub. Itulah yang membuatku jatuh cinta. Dan itulah yang membuatku berhenti berpikir untuk menunggu, mengejar karir, dan menikmati kebebasan jauh lebih lama lagi. Sebab aku sadar aku tidak menuju ke sana. Aku butuh kehangatan itu. Dan aku butuh itu darinya. Bukan orang lain lagi. 

Sayang, rupanya semua tidak semudah itu. Aku masih perlu bergelut dengan banyak ekspektasi orang-orang terdekat. Aku masih perlu bergumul dengan diriku sendiri. Dan itu membuatku lelah. Itu membuatku kembali bertanya-tanya. Dan di sana lah aku tidak mampu lagi memiliki racun dalam hati. Aku butuh pelindung, dan lagi-lagi dia yang datang menawarkan jalan kepadaNya. 

Jadi, sudah jelas kenapa cinta? Tapi kenapa tidak mau menunggu? Karena kupikir semuanya telah jelas di hadapan mata. Tinggal bagaimana kita mengaturnya. Bukankah begitu?

Aku butuh bicara. Dengannya. Segera. 

No comments: