Pada dasarnya, life is all about balance. Segala sesuatu di hidup ini itu penting adanya, asalkan seimbang. Jadi, momen penuh kedukaan itu tidak selalu berarti negatif, karena ada kalanya momen duka itu mengingatkan kita bahwa hidup tidak selalu diwarnai kebahagiaan sehingga membuat kita lebih bijaksana menjalani kehidupan.
Seringkali, manusia tidak menyadari "kebutuhan" itu, sehingga sebagian besar cenderung anti pada momen tidak menyenangkan, anti pada kesulitan, anti pada kesengsaraan, dan sebagainya. Saya mungkin di banyak kesempatan juga berbuat yang sama, tetapi hari ini saya disadarkan untuk menerima semua proses sebagai bagian dari dinamika hidup yang seutuhnya.
Seorang sahabat yang sudah lama tidak saya jumpai bercerita tentang apa yang dialaminya. Secara singkat, dia memadatkan ceritanya dengan kalimat, "Sebenernya sih pengen ngeluh, tapi ya dijalanin aja.." Kalimat yang sering kita dengar dan cerna, bahkan terlontar dari mulut kita.
Saya kemudian merespon dengan mengatakan bahwa mengeluh itu perlu dalam porsinya, dan mengeluh tidak selalu buruk. Herannya, saya baru menyadari fakta itu ketika saya mengucapkannya sendiri kepada orang lain. Padahal, selama ini saya ada di dalam tempurung yang percaya bahwa mengeluh itu tidak pernah baik, hasil dari sosialisasi dan interaksi saya dengan orang-orang di sekeliling saya.
Banyak orang yang mengkritik saya karena tidak mudah puas dengan apa yang saya miliki. Tak jarang saya butuh afirmasi yang berlebihan, atau berakhir dengan meracau tentang apa yang tidak saya miliki atau tidak saya lakukan. Mengeluh menjadi label kata kerja yang melekat dalam diri saya, dan orang lain tidak menyukainya. Dari situ, timbul pagar-pagar yang berkawatkan tulisan "Jangan suka mengeluh! Orang lain tidak menyukainya!" yang kemudian membuat saya menahan diri untuk mengeluh.
Padahal, ketika saya dalami lebih jauh, sesungguhnya mengeluh itu perlu, bahkan amat perlu. Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa hidup pada dasarnya melulu mengenai keseimbangan, mengeluh adalah bagian dari ekuilibrium itu. Mengeluh diperlukan untuk membantu manusia mencapai keseimbangan itu. Bagaimana caranya?
Pertama, mengeluh membuat kita sehat secara rohaniah. For me, it is a mechanism that keeps me sane. Meskipun derajatnya berbeda bagi masing-masing orang, tetapi dengan mengeluh, sesungguhnya kita berusaha melepaskan emosi dan energi negatif yang kita simpan. Dari namanya saja, energi negatif akan dapat merusak batin kita, membuat kita tidak bahagia, atau merasa dongkol atau kesal. Dalam kondisi itu, mengeluh bisa menjadi saluran bagi energi negatif itu untuk keluar. Dengan keluarnya energi negatif itu, maka batin kita menjadi lebih sehat, apalagi jika kemudian diisi dengan energi baru yang lebih positif.
Energi baru yang lebih positif sendiri bisa didapatkan melalui mengeluh, khususnya ketika kita bercerita pada orang-orang yang tepat, yang menjadikan keluhan itu sebagai masukan untuk memberikan saran dan kritik yang sifatnya konstruktif. Walaupun kadang sulit menemukan orang dengan kapasitas tertentu semacam itu, setidaknya dengan berbagi kepada orang lain, kita bisa menemukan pandangan orang yang berbeda, perspektif lain untuk melihat masalah, yang kadang dapat menjadikan kita melihat masalah dengan lebih utuh, atau setidaknya mendapatkan kacamata baru yang menyegarkan dalam memandang problematika yang ada.
Hal yang juga tidak kalah penting dari aktivitas "mengeluh" ini adalah bahwa terkadang, dengan mengeluhkan sebuah masalah kepada orang lain, ada orang-orang yang bisa membantu mencarikan jalan keluar dari sebuah masalah. Bandingkan ketika kita memilih untuk tidak mengeluhkan masalah itu dan menyimpannya untuk diri sendiri, maka tidak akan ada orang yang tahu, apalagi membantu menyelesaikan kebuntuan yang kita rasakan.
Memang, untuk bisa menghasilkan kritik yang konstruktif, solusi, ataupun perspektif baru, kita harus mencari orang yang tepat, yang dewasa dalam menyikapi keluhan orang di sekitarnya. Orang tersebut mungkin sulit ditemukan, tetapi hampir pasti orang semacam itu ada di bumi.
Kita juga perlu merefleksi diri, apakah kita cenderung menjadi orang yang judgmental dalam melihat masalah, menghindari keabu-abuan, dan mengkotak-kotakkan kegiatan "mengeluh" sebagai salah satu aktivitas yang justru destruktif sehingga perlu dihindari. Dari situ kita bisa belajar untuk menjadi orang yang berpikiran terbuka, khususnya tidak menutup mata terhadap keluhan orang lain. Kita perlu mengingat bahwa mengeluh diperlukan sebagai salah satu mekanisme diri mengeluarkan energi dan emosi negatif yang sebenarnya berbahaya jika disimpan sendirian.
Ketiga, mengeluh bisa menjadi satu latihan bagi diri sendiri untuk berefleksi. Mungkin hal ini kedengaran aneh, tetapi sesungguhnya dengan menganalisa keluhan-keluhan kita, kita tahu apa yang menjadi momok bagi diri kita, apa yang tidak kita sukai, dan bagaimana kita menghadapinya. Dari situ, kita bisa mencatat dan mempelajari diri kita sendiri, dan menghindari hal-hal yang salah untuk tidak diulangi kembali karena berpotensi menyebabkan keluhan yang sama. Kalau kita cukup bijaksana, keluhan itu membuat kita lebih toleran terhadap orang lain, dan berusaha membangun diri untuk tidak bergesekan dengan orang lain.Tentu, proses ini tidak dapat ditempuh dalam satu, dua malam, melainkan sebagai sebuah tahapan panjang yang harus dialami seumur hidup untuk dapat mencapai "kesempurnaan". Tetapi, setiap proses panjang membutuhkan langkah pertama, bukan?
Kita juga perlu merefleksi diri, apakah kita cenderung menjadi orang yang judgmental dalam melihat masalah, menghindari keabu-abuan, dan mengkotak-kotakkan kegiatan "mengeluh" sebagai salah satu aktivitas yang justru destruktif sehingga perlu dihindari. Dari situ kita bisa belajar untuk menjadi orang yang berpikiran terbuka, khususnya tidak menutup mata terhadap keluhan orang lain. Kita perlu mengingat bahwa mengeluh diperlukan sebagai salah satu mekanisme diri mengeluarkan energi dan emosi negatif yang sebenarnya berbahaya jika disimpan sendirian.
Ketiga, mengeluh bisa menjadi satu latihan bagi diri sendiri untuk berefleksi. Mungkin hal ini kedengaran aneh, tetapi sesungguhnya dengan menganalisa keluhan-keluhan kita, kita tahu apa yang menjadi momok bagi diri kita, apa yang tidak kita sukai, dan bagaimana kita menghadapinya. Dari situ, kita bisa mencatat dan mempelajari diri kita sendiri, dan menghindari hal-hal yang salah untuk tidak diulangi kembali karena berpotensi menyebabkan keluhan yang sama. Kalau kita cukup bijaksana, keluhan itu membuat kita lebih toleran terhadap orang lain, dan berusaha membangun diri untuk tidak bergesekan dengan orang lain.Tentu, proses ini tidak dapat ditempuh dalam satu, dua malam, melainkan sebagai sebuah tahapan panjang yang harus dialami seumur hidup untuk dapat mencapai "kesempurnaan". Tetapi, setiap proses panjang membutuhkan langkah pertama, bukan?
Pesan saya, mengeluh lah kepada orang yang tepat, yang tidak mudah menghakimi. Atau bahkan mengeluh bisa dilakukan dengan menulis, atau disalurkan lewat banyak hal. Yang terpenting adalah bagaimana kita memutuskan untuk melepaskan segala tekanan yang kita tanggung untuk mendapatkan kelegaan.
Kembali kepada persoalan ekuilibrium tadi, tentunya sesuatu dapat disebut seimbang jika porsinya tidak berlebihan, tetapi juga tidak berkekurangan. Untuk itu, perlu ada batasan terhadap keluhan yang kita sampaikan. Jangan sampai orang merasa jengah dengan keluhan karena jumlahnya yang tidak karuan. Di situlah kontrol diri diperlukan untuk juga dapat melatih diri sendiri agar bisa menyeimbangkan waktu untuk mengeluh dan waktu untuk menahan diri. Ini adalah tantangan yang saya sendiri pun belum berhasil untuk melakukannya.
Tulisan ini bukanlah excuse, atau sekadar bahan saya membela diri terhadap kebiasaan saya mengeluh, tetapi saya berupaya untuk melihat sesuatu dari kotak yang lebih besar, dari perspektif yang lebih luas, dan ini sesungguhnya adalah salah satu exercise saya untuk menjadi lebih dewasa dan terbuka terhadap hal-hal yang terjadi di hidup saya.
Menyerap semua hal, aware dan mindful terhadap setiap titik yang saya lewati adalah pilihan dari hidup saya. Saya bisa mengutuki diri karena terlalu kritis dan analitis terhadap diri sendiri, tetapi saya sadar bahwa perbuatan itu tidak membawa saya kemanapun juga. Jadi, dengan berusaha memahami diri dan menjadikan segala sesuatunya sebagai manfaat, saya sedang berupaya menjadikan hidup saya lebih berarti.
Kembali kepada persoalan ekuilibrium tadi, tentunya sesuatu dapat disebut seimbang jika porsinya tidak berlebihan, tetapi juga tidak berkekurangan. Untuk itu, perlu ada batasan terhadap keluhan yang kita sampaikan. Jangan sampai orang merasa jengah dengan keluhan karena jumlahnya yang tidak karuan. Di situlah kontrol diri diperlukan untuk juga dapat melatih diri sendiri agar bisa menyeimbangkan waktu untuk mengeluh dan waktu untuk menahan diri. Ini adalah tantangan yang saya sendiri pun belum berhasil untuk melakukannya.
Tulisan ini bukanlah excuse, atau sekadar bahan saya membela diri terhadap kebiasaan saya mengeluh, tetapi saya berupaya untuk melihat sesuatu dari kotak yang lebih besar, dari perspektif yang lebih luas, dan ini sesungguhnya adalah salah satu exercise saya untuk menjadi lebih dewasa dan terbuka terhadap hal-hal yang terjadi di hidup saya.
Menyerap semua hal, aware dan mindful terhadap setiap titik yang saya lewati adalah pilihan dari hidup saya. Saya bisa mengutuki diri karena terlalu kritis dan analitis terhadap diri sendiri, tetapi saya sadar bahwa perbuatan itu tidak membawa saya kemanapun juga. Jadi, dengan berusaha memahami diri dan menjadikan segala sesuatunya sebagai manfaat, saya sedang berupaya menjadikan hidup saya lebih berarti.
1 comment:
Setuju dengan yang Gadis tuliskan soal mengeluh ini. Terkadang ketika mengeluh untuk melepaskan unek-unek malah ditambah beban dengan dihakimi orang lain yang mendengar keluhan tsb
Post a Comment