Telah lewat beberapa hari sesungguhnya, ketika perasaan ingin menulis itu tiba. Dan telah tertulis semua perasaan di dada sesungguhnya, ketika semuanya terhapus di sini juga. Jadilah perasaan malas menggerayangi akibat usaha yang tergerus sia-sia karena cacat teknologi.
Ada terlalu banyak isi hati ini. Ingin dilontarkan semua tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Tapi baiklah, akan aku coba juga.
Pertama, Ketie berkata aku tak bagus menulis dalam bahasa. Padahal aku lagi gemar sekali menghabiskan waktu bercakap dalam bahasa, sebab dari membaca Bumi Manusia. Hmmm, itu pun sebabnya aku masih menulis dalam bahasa di beberapa posts terakhir, termasuk post ini. Rasa-rasanya kemampuan menulis dalam Inggris turut hilang dan memudar bersama dengan keasyikanku mengeksplorasi bahasa ini. Kuharap nanti ada waktunya untuk belajar menulis lagi.
Kedua, aku kehilangan keseimbangan. Aku kehilangan disiplin diri. Aku mulai terlalu banyak memberikan excuse pada semua kesalahan yang kulakukan. Aku membuat justifikasi untuk hal yang kuketahui salah. Aku membuat rasionalisasi untuk menyamankan pikiran dan hatiku. Dan aku tahu ini salah besar. Aku sendiri jadi tidak teratur, malas, gendut. Semuanya akibat terlalu banyak makan dan tidur, dengan alasan kerja keras harus diimbangi dengan bayaran yang sepadan. Semua kegiatan sebisa mungkin aku skip untuk istirahat. Alhasil, begini jadinya diriku, dipenuhi tumpukan lemak yang seharusnya bisa hilang jika aku ada sedikit saja niat berolahraga. Nyatanya, niat itu hilang entah kemana, mungkin terbawa mimpi dalam tidurku yang lelap.
Ketiga, aku masih menginginkan beasiswa itu. Aku masih sangat berkeinginan meninggalkan dataran ini semester depan. Aku masih ingin mengubur kenangan pahit itu. Aku masih ingin berlari mencari kebahagiaan sendiri. Tapi semuanya tidak mungkin, karena semuanya sudah lewat. Kesempatan yang lain sudah datang menjemput tanpa mungkin ditolak lagi. Sampai jumpa, Amerika.
Keempat, aku terus-menerus merenungi hubunganku dengan si dia. Rumit sekali rasa-rasanya. Sepertinya aku terlalu banyak berpikir. Terlalu banyak menggali, dan kemudian kupertanyakan kembali ketulusan dalam hatiku, jika memang ada. Apakah ini dasar rasionalisasi atau murni emosi?
Kelima, mengapa aku merasa asing dalam lingkungan ini? Don't I belong to them? Haruskah aku pergi jika lantas mereka tak merasa membutuhkanku lagi?
Hidup ini penuh pergumulan yang seakan tiada habisnya.