Aku sadar sejak awal bahwa aku butuh pembimbing. Bahwa aku, dengan emosi dan semangatku yang meletup-letup, persis seperti percikan kembang api, kadang membuat aku sulit sendiri. Ketidakstabilan itu memang identik dengan ketidakdewasaan. Dan aku mengakui bahwa aku memang belum sama sekali dewasa. Aku selalu mudah diombang-ambingkan berbagai "suara", seolah aku tidak pernah punya pendirian, atau nilai-nilai yang menjadi pondasi di dalam. Aku jadi seolah, tidak punya standar, dan berubah setiap kali aku melabuhkan hidupku di satu orang.
Aku sadar aku butuh patron yang tepat, dan harusnya Yesus adalah pedomanku. Bukan manusia, dan bukan kamu. Walaupun aku mengakui, kamu seperti Dia bagiku, karena kualitas dan prinsip yang kamu miliki.
Tapi kemudian aku menggali dan melihat lagi, apa benar aku mengikut kamu dan menetapkan standar sesuai dengan pakemmu? Apa benar?
Selalu ada pergolakan di situ. Aku melihat diriku sebagai seseorang yang sesungguhnya mandiri, kuat, namun tetap rendah diri. Bagimu, itu tidak ada bedanya dengan arogansi. Padahal, bagiku dan sebagian orang, itu cara bertahan hidup dengan menggunakan prinsip sendiri.
Prinsipku sudah kamu patahkan seketika kamu masuk dalam hidupku. Kamu, yang berbeda 180 derajat mengoyakkan semua yang pernah kubangun. Segala pengertian tentang dunia dan isinya. Di situlah aku merasa kau seperti Dia.
Kamu tidak mengenalkan aku pada kesombongan. Kamu mengenalkan aku pada bagaimana hidup benar. Hidup yang menanggalkan atribut dan berfokus pada Tuhan.
Kamu tidak mengenalkan aku pada kesuksesan. Kamu mengenalkan aku pada bagaimana menggali potensi dan berfokus mendalaminya.
Kamu, buatku, seperti Dia. Kamu minta aku menyangkal diri, dan mengikut kamu.
Aku setuju, pada awalnya. Tapi kini aku berontak. Bahwasanya pemberontakkan itu ingin kulakukan sejak dulu, aku tidak akan menyangkalnya. Karena mengikut Dia tidak pernah mudah bagi manusia.
Aku berontak karena aku tiada sabar. Aku jengah dengan perintah, dengan peraturan, jengah dengan kekangan, jengah dengan segala keharusan untuk terus meringkuk dalam penjara yang kamu bangun. Bukan salahmu. Tentu itu salahku.
Salahku menganggap kamu sama seperti Dia. Karena aku tidak pernah tahu.
Aku juga tidak akan pernah tahu apakah jalan yang kulakukan itu benar. Karena aku mulai tidak bisa membedakan mana suara hati dan suara dari rasio. Aku hanya bisa bertekun dalam doa, dan menjalani semuanya.
Sepertinya, aku akan kembali dengan nilai-nilaiku yang dulu. Yang meyakini bahwa tidak ada satu keputusan pun yang salah. Karena hidup adalah soal menjalani konsekuensi. Berat ataupun ringan. Aku perlu jadi kuat. Mungkin tanpa bimbinganmu.
Aku tidak akan pernah tahu sampai aku menjalaninya.
Jika ini adalah perpisahan, maka biarlah aku mengucapkan terima kasih yang terdalam telah menjadi bagian hidup yang begitu tidak tergantikan, kekasih yang panjang sabar dan penuh rasa sayang. Terima kasih untuk bimbingan yang tak bisa diukur dengan apapun, tidak terkecuali uang.
Terima kasih tentunya tidak menggantikan kata maaf, yang aku mohonkan dari hati, untuk pembangkangan tolol yang begini, untuk kekecewaan yang membekas di hati, dan untuk menjadi seorang perempuan dengan masa lalu yang tidak bisa dikuliti.
Sayangku hanya untuk kamu, begitu juga cintaku.